PART 21

919 72 2
                                    

Anindiya duduk di atas kasur kapuknya yang tua namun sangat nyaman itu, dalam diam.

Secangkir cokelat panas mengepul di hadapan wajahnya.

Ia sangat suka cokelat panas, terutama jika cokelat yang digunakan adalah dark chocolate tanpa tambahan gula atau pemanis lainnya.

Wajah lelahnya hilang seketika, begitu tegukan pertama mengalir turun ke tenggorokannya.

"Hm..." Gumamnya puas menyesap cita rasa cokelat itu.

Ini adalah cangkir cokelat terakhirnya yang tersisa untuk bulan ini. Tadinya ia menawarkan minuman itu kepada Auriga sebagai bentuk ucapan terima kasih dan keramahtamahannya atas kesediaan pria itu mengantarkannya pulang.

Namun Auriga menolak, begitu ia mengantarkan Anindiya sampai ke depan pintu kamarnya, pria itu langsung pamit begitu saja. Jadilah bubuk cokelat terakhirnya ini diseduhnya sendiri dan dinikmatinya dengan penuh kesyukuran.

Ia ingat malam-malam dulu yang dilaluinya bersama Auriga kala dalam masa petualangan.

Secangkir cokelat seperti ini akan mereka bagi bersama, hanya sekedar menghangatkan diri dan mengakrabkan suasana. Lalu kemudian mereka lupa tentang rasa canggung, rasa asing satu sama lain, serta sikap apatis.

Jadi begini, awal pertemuan Anindiya dan Auriga adalah sekitar tiga tahun yang lalu. Kala itu Anindiya bekerja di organisasi non-pemerintah yang sama dengan Rangga.

Mereka tidak sengaja bertemu di suatu taman yang berada di komplex perkantoran. Auriga sedang membidikkan kameranya pada gedung-gedung pencakar langit yang ada disana, sedang Anindiya duduk memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, ketika akhirnya Anindiya menghampiri Auriga untuk bertanya banyak hal tentang street photography.

Singkat cerita, pertemuan itu ternyata mengantarkan mereka pada perkenalan yang lebih dalam. Auriga dan Anindiya memiliki ketertarikan yang sama tentang alam, petualangan, kemanusiaan dan fotografi. Jadi mereka mudah akrab.

Awalnya hanya mengobrol biasa, sesekali bertemu di warung kopi atau penjaja makanan manapun di akhir pekan, kemudian mereka mulai sering keluar untuk hunting foto atau kuliner unik bersama, dan pada akhirnya interaksi itu meningkat menjadi perjalanan dan petualangan bersama.

Kadang mereka pergi dalam grup kecil, tiga hingga empat orang, atau dalam lain kesempatan pada grup besar delapan hingga sepuluh orang. Pokoknya mereka menghabiskan banyak waktu bersama baik untuk travelling maupun kegiatan organisasi dan kemanusiaan.

Tetapi dalam satu tahun awal itu, tak pernah ada kata suka atau cinta satu sama lain yang terutarakan. Mereka murni berteman, dan Anindiya yakin, pada masa itu cintanya bertepuk sebelah tangan.

Namun pada tahun kedua pertemanan mereka, tepat di malam tahun baru, entah kegilaan apa dan setan apa yang merasukinya, Anindiya menyatakan cintanya kepada Auriga.

Lelaki itu tak menjawab. Ia juga tidak menjauh atau berprilaku berbeda. Tidak hingga enam bulan kemudian Auriga datang kepadanya dan bilang, "Kurasa Rangga dan kamu cocok, Nind."

Bukan jawaban akan pernyataan cinta yang telah diutarakannya enam bulan lalu yang diterimanya, tetapi Auriga malah menjodohkannya dengan Rangga.

Dan mungkin Anindiya bodoh kala itu, ia menangis semalam suntuk. Tetapi esok harinya, esoknya lagi, dan seterusnya, ia tidak pernah memprotes atau mengemukakan amarahnya kepada Auriga.

Hanya saja, sejak hari itu semua berbeda. Hubungan mereka menjadi jauh, dan entah hanya perasaannya atau memang demikian adanya, Auriga mulai sering 'menghadirkan' Rangga diantara mereka.

Marrying Mr. SangajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang