PART 25

1K 79 15
                                    

Auriga tetap mengikuti Anindiya pulang dari belakang. Dari jarak yang dirasanya aman, untuk membuat gadis itu tidak menyadari keberadaannya.

Auriga memperhatikan Anindiya yang bersiul. Bersenandung kecil. Dan sesekali ia bergumam pada langit. Memperotes kenapa langit Jakarta tidak memiliki bintang sama sekali.

"Polusi." Keluhnya dengan suara serak basahnya yang membuat senyum Auriga semakin berkembang di wajahnya.

Kamu pasti merindukan alam terbuka, dengan langit berbintang dan api unggun. Aku rindu mengobrol denganmu... Dengan secangkir cokelat panas dan derai tawamu yang menyenangkan.

Gadis di hadapan Auriga itu mendadak berhenti berjalan. Auriga yang tidak menduganya, langsung ikut berhenti. Namun ia terlambat, Anindiya berbalik dan menoleh kepadanya.

Auriga belum sempat bersembunyi atau mengalihkan wajahnya.

"Sampai kapan kamu mau ikutin aku?" Keluh gadis itu sembari menggeleng-gelengkan kepalanya kesal.

"Sejak kapan kamu sadar?" Auriga mendekat, mencoba untuk menghilangkan sikap kikuknya karena sudah tertangkap basah membuntuti Anindiya.

"Sejak di Bus tadi." Jawab Anindiya kalem. "Ada apa, Ga?"

Lelaki itu menggeleng dan tersenyum kecil. "Aku hanya ingin menemanimu pulang."

"Aku tidak perlu kau temani."

"Karena aku tau kau akan berkata seperti itu, makanya aku tidak berniat menyatakan keinginanku itu padamu."

"Kamu aneh." Nindiya berbalik. Memunggungi Auriga dan berjalan menjauh.

Auriga mengikutinya. Sekitar seratus meter lagi, mereka akan tiba di kontrakan Anindiya.

"Kenapa kamu memilih untuk jalan kaki sih?"

"Karena kalau setiap hari naik ojek, ongkosku bisa bikin tekor."

"Kurasa gajimu tidak benar-benar buruk, Nin. Bahkan untuk posisi yang kau lamar sekarang, banyak wanita yang akan menghambur-hamburkan gaji mereka untuk sekedar nongkrong di coffee shop."

Gadis berambut hitam lebat itu tertawa. "Aku miskin, Ga. Tidak seperti mereka. Aku perlu mengirimkan uang bagi kedua orang tuaku. Agar di masa senja mereka, mereka tidak perlu lagi bersusah payah mencari rezeky. Aku juga harus menabung untuk kehidupanku di masa depan."

Sejujurnya Auriga sangat mengenal jalan fikiran gadis ini. Baginya uang bukan untuk di hambur-hamburkan. Ia bukan pelit, hanya realistis saja.

"Mau mampir ke Warung Kopi itu?" Tawar Auriga sembari menunjuk kedai kopi sangat sederhana yang berada tepat di depan gang menuju kontrakan Anindiya.

"Sebagai seorang kawan lama," Auriga melanjutkan. "Bukankah wajar kita duduk menikmati secangkir kopi dan sepiring gorengan, lalu bercerita tentang masa lalu dan masa kini?"

Anindiya belum menjawab. Tetapi Auriga bisa merasakan bahwa wanita itu juga tidak ingin menolaknya.

"Kau boleh ajak Rangga dan memintanya bergabung. Kalau kau memang keberatan hanya berdua denganku." Tawar Auriga.

Sekilas ada keraguan tergambar di wajah gadis itu, namun kemudian berubah dengan sikap tenang dan kepercayaan diri.

"Rangga sibuk." Anindiya berujar santai. "Kita saja." Ia kemudian menuntun kakinya sendiri untuk berjalan mendekati kedai kopi.

Marrying Mr. SangajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang