30.5| 18 Oktober 2018 - Awal dari Akhir

593 103 27
                                    

Kim Jiwoo berkunjung dengan kekasihnya, mengobrol banyak dengan Luhan tentang kafe milik Luhan di Seoul yang ditangani Jiwoo, lalu berpamitan ketika hari sudah malam dan kafe sudah sepi sekali.

Hampir pukul 9 malam, dan Luhan harus menutup kafenya. Ia harus istirahat di rumah, badannya capek semua. Ia baru saja ingin berbalik kembali ke dalam untuk mengambil barang-barangnya setelah mengantar Jiwoo dan kekasihnya sampai pintu, namun urung ketika ia melihat Sehun keluar dari mobil, menatapnya sambil berjalan mendekat. Luhan terpaku.

Luhan merasa sedih. Melihat Sehun nampak ingin menjelaskan sesuatu sementara Luhan mencoba menguatkan diri untuk menutup pintu kaca kafenya, Luhan ingin menangis.

"Luhan," Sehun memanggilnya. Luhan tidak mampu bertahan jadi ia menutup pintu dari dalam, menguncinya, tidak membiarkan Sehun masuk.

"Bukalah dulu, ayo kita bicara."

Luhan masih mampu mendengar Sehun memohon di luar. Ia mengepalkan tangan, mencoba beralih namun Sehun yang mengetuk-ngetuk pintu kaca itu, serta suaranya, serta ekspresinya, membuat Luhan gentar.

"Kumohon..." Sehun memohon lagi, kali ini dengan ekspresi memelas selagi mencoba untuk meyakinkan Luhan tentang apa yang akan ia jelaskan pada perempuan itu. "Kenapa kau menghindariku saat kau tahu bagaimana perasaanku padamu?"

Luhan tetap diam.

"Luhan..." panggil Sehun sekali lagi. "Jangan buat aku terpaksa masuk karenamu."

Luhan kali ini menggeleng sebagai jawaban. Ia melangkah mundur, lalu berbalik, lalu berjalan menjauh. Telinganya masih mampu mendengar suara pintu yang dipaksa terbuka oleh Sehun. Luhan masih mampu mendengar suara Sehun yang memohon dan memanggilnya. Luhan dengar itu semua tapi ia mencoba untuk tuli.

Ia sedih melihat Sehun dan dirinya justru berakhir menggelikan untuk saat ini. Tuhan mempermainkan semesta mereka lagi, membuatnya berada di ujung tanduk. Luhan ingin meledak tapi rasanya tertahan suatu hal.

Sehun. Lelaki itu masih berusaha untuk masuk.

Luhan berhenti melangkah. Hati dan kakinya berat untuk melanjutkan. Ia merasa pedih dalam dada, Luhan tak tahu mengapa ia bisa merasakan perasaan tak beralaskan ini. Kemudian, tanpa bisa dikontrol, Luhan berbalik lagi. Kali ini melangkah dengan cepat menuju pintu, lalu membuka kuncinya. Mengijinkan Sehun masuk. Mengijinkan Sehun merengkuhnya erat.

Punggung Luhan menghangat. Tubuhnya juga begitu. Ia berusaha untuk sadar tapi pada akhirnya ia terbawa arus yang dikendalikan oleh Sehun. Luhan membawanya pada tingkat kesadaran yang lain. Entah pada alam yang mana.

"Maaf..." Sehun bergumam pelan di bahu Luhan. "Mungkin aku membuatmu tidak nyaman. Maafkan aku."

Luhan menggeleng di dada Sehun. "Kau tidak salah," katanya.

Sehun mengendurkan pelukan, memegangi kedua pundak Luhan, lalu menatap manik mata Luhan dalam sekali. Tatapan yang awalnya cemas itu mendadak berubah menjadi tatapan serius.

"Aku tidak sedang bermimpi, kan?"

Sedetik setelah itu, Luhan tersadar. Ia terbangun dari mimpinya, membuka mata, dan ruangan masih gelap. Seperti biasa, mimpi dengan Sehun di dalamnya membuat Luhan merasa Sehun memang benar-benar ada saat itu. Mimpinya terasa nyata. Neuron-neuron dalam tubuhnya berkerlap-kerlip, merespons apa yang ia rasa saat ini.

Luhan merasa Sehun ada di sisinya, dan Luhan lantas berguling ke belakang. Tidak ada siapa-siapa selain dirinya di kamarnya sendiri.

Luhan menghela napas. Ia menyalakan lampu nakas, lalu melihat jam dinding dalam kamarnya. Pukul 3 pagi. Seperti biasa.

Luhan jadi mempertanyakan hal ini. Mengapa ia selalu terbangun pada pukul 3 pagi saat Sehun muncul dalam mimpinya?

Aneh.

***

Pukul 3 pagi.

Sehun terduduk di tempat tidurnya dalam keadaan sangat-sangat sadar. Ialah yang menyadarkan dirinya sendiri, membuatnya terbangun dari mimpinya sendiri dengan Luhan di dalamnya.

Kenapa pula ia meminta maaf pada Luhan, sementara Luhan kelihatan sedih sekali saat menatapnya di balik pintu kaca Chrysanthemum?

Baiklah, itu bodoh. Itu hanya mimpi jadi Sehun tidak perlu memikirkannya dengan serius.

Namun, setelah berpikir banyak mengenai hal ini, Sehun pikir ada yang salah mengenai hubungannya dengan Luhan. Tidak mungkin Sehun sering memimpikan Luhan sementara sebelumnya ia tidak memikirkan perempuan itu sama sekali. Seingatnya, Luhan muncul pertama kali dalam mimpinya sebelum ia berpisah dengan Irene. Namun anehnya, rasa yang menggerayanginya setelah terbangun dari mimpi dengan Luhan di dalamnya, rasa nyata dan rasa-rasa lain yang terbawa saat sadar, Sehun seperti pernah merasakannya di waktu yang lain.

Sehun merasa, mimpi di bulan Juni itu bukan yang pertama kali.

Sehun mendesah pelan. Ia turun dari tempat tidur lalu berjalan pelan menuju dapur kecil di apartemen sementaranya yang ada di Daegu. Sehun menuang air pada gelas, meminumnya, lalu kembali berpikir.

Beberapa jam yang lalu, ia bertemu dengan Luhan dan Minhyuk. Beberapa jam yang lalu pula, akhirnya Sehun sadar bahwa ia memang telah berpaling dari Irene kepada Luhan.

Jadi, Irene... Inikah yang kau maksud?

Jadi, Luhan... Kau yang menerima sticky notes itu dan itu berarti kau Lilac-ku di 10 tahun lalu. Aku masih belum bisa melepas sosokmu meski Irene pernah menemaniku.

Jadi Lilac... Mimpi itu bukan mimpi yang biasa, kan?

.
.
.
pusing?
iya, maaf. hehe
Sehun emang bukan pengirim sticky notes-nya, jadi jangan bingung wkwkwk. di chapter kemaren itu Sehun emang lagi ngga bohong. di chapter kemaren itu Luhan juga lagi sedih banget karena dia sadar ternyata semestanya sama Sehun lagi rumit bgt :')
trus, kalau bukan Sehun, siapa pengirim sticky notes-nya?
clue-nya: Siapa yang manggil dan nganggep Luhan Chrysanthemum?
udah gitu aja wkwkwkwkwk.
seeya!

Tu Me Manques [HUNHAN GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang