42| Januari 2019 - Dia Pacarku

415 78 10
                                    

27 Januari 2019
.
Pagi itu rasanya berbeda sekali untuk Luhan. Ketika ia melihat ibunya duduk di teras belakang rumah sambil membaca buku yang cukup tebal, Luhan teringat percakapan mereka lusa malam lalu. Luhan tak menyangka bahwa selama ini ibunya juga berusaha bangkit dari rasa sakit yang tertinggal karena bangkrutnya perusahaan ayah. Ibu pintar sekali menyembunyikan rasa sakitnya dari Luhan. Ibu pintar sekali membuat Luhan tak menyadari betapa besarnya pengorbanan yang ibu beri, yang kedua orang tuanya beri, untuk dirinya.

Astaga, peristiwa itu meninggalkan banyak sekali luka untuk keluarganya.

Luhan melipat bibir, membasahinya, lalu menarik dan menghembuskan napas begitu saja guna menenangkan diri. Hari ini, Luhan harus pergi ke Seoul, dan dia harus meminta ijin pada ibunya. Luhan menghampiri wanita itu lalu duduk di kursi kosong yang tersisa.

"Ada apa?" ibunya lantas bertanya sesaat setelah Luhan duduk di dekatnya. Seolah tahu bahwa Luhan ingin mengobrol dengannya. Wanita itu fokus pada bacaannya, tidak menoleh pada Luhan sama sekali.

Luhan menekan bibirnya sejenak. "Aku ada pekerjaan di Seoul." Ujarnya.

"Kafemu?"

Luhan menggeleng. "Bukan." Jawabnya pelan.

Ibu menutup buku yang dibacanya sembari menatap Luhan. "Apa? Tsvete-mu?" tanyanya. Luhan ingin sekali menjelaskan namun ibu lantas menyelanya. "Luhan, berapa kali ibu bilang kalau ibu tidak suka kau bekerja pada orang lain?"

"Bu..." Luhan mencoba untuk melunakkan ibunya. Setelah perbincangan mereka malam itu, Luhan jadi menahan diri untuk tidak membawa mereka berdua ke dalam percakapan yang menyebalkan. Luhan tidak ingin ia dan ibunya bertengkar hanya karena masalah beda pendapat. Salah satunya ya ini.

"Ibu suka kafemu karena kau yang mengelolanya. Kau membangun kafemu dari nol sampai sekarang ada banyak cabang di beberapa daerah. Gaea-mu itu, ibu tidak suka karena kau bekerja di bawah instansi. Lalu Tsvete. Ibu dengar kau sedang mencari organizer yang bisa menaungi Tsvete, sama seperti Gaea."

Luhan diam sejenak. "Ibu mencari alasan-alasan sepele seperti itu?" tanyanya, kalem. "Gaea dan Tsvete itu sama seperti kafeku. Aku pemiliknya. Mau aku menjadikannya seperti Chrysanthemum atau mencari naungan untuk semua bisnisku, ya... itu caraku berbisnis. Aku bisa mengatasinya. Sama seperti ibu mengatasi bisnis ibu, seperti ibu yang mau menanamkan saham ibu pada perusahaannya Ketua Lee. Ibu tahu itu dan kumohon, jangan tahan aku lagi karena alasan sepele itu."

Ibu menatap Luhan, terdiam.

"Aku sudah dewasa, bu. Apa yang membuat ibu keukeuh menahan dan protektif padaku? Ibu tidak percaya aku bisa menjaga diri dan bisa melakukan banyak hal?"

"Ibu percaya," wanita itu menjawab, suaranya melunak. "Ibu berusaha untuk menjagamu di sisa hidup ibu ini. Setelah melihatmu pergi sendirian ke Seoul, ibu merasa gagal menjagamu. Sekarang ketika ibu sudah mampu melakukannya, ibu ingin membayar kesalahan ibu padamu."

Giliran Luhan yang terdiam karena penjelasan ibunya. Dugaannya selama ini mengenai mengapa ibunya selalu bersikap seperti ini semenjak wanita itu menghadiri wisudanya bertahun-tahun yang lalu, ternyata benar. Ternyata bangkrutnya perusahaan ayahnya berdampak besar sekali bagi ibunya.

Luhan terhenyak ketika tiba-tiba saja tangannya dilingkupi tangan milik ibunya. Rasanya sudah lama sekali ibunya tak memberinya perlakuan seperti ini. Semakin bertambah umur mereka, semakin jarang mereka berbagi kasih. Luhan baru menyadari itu.

Di antara mereka bertiga---ia, dan kedua orang tuanya---, ibunyalah yang paling merasa sesal pada keputusan ayah. Pun Luhan juga merasa sesal karena ibu masih belum bisa melepaskan masa lalu itu. Dari awal, Luhan tak pernah mempermasalahkan bangkrutnya perusahaan ayah. Ia senang ayahnya bisa membebaskan diri dari bisnis yang kotornya tak berkesudahan itu. Ibunya saja yang tidak rela, dan Luhan tak mengerti mengapa.

Tu Me Manques [HUNHAN GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang