47| 28-29 Maret 2019 - Silence

293 57 17
                                    

"Jiejie tidak mau main basket bersamaku?" tangannya bersedekap, melepas perhatiannya dari bola basket yang memantul-mantul dan akhirnya menggelinding, menyembunyikan diri di balik semak.

Perempuan yang ditanyai menjawab dengan gelengan berikut senyum simpul yang terulas di wajah. Dagunya menggiling lengannya yang terlipat di bingkai jendela.

Jian merengut. "Ayolah... Tidak seru kalau aku main sendirian," bujuknya. Ia melangkah mendekati Luhan yang sedari tadi menontonnya melalui jendela kamar, meraih lengannya, lalu menariknya supaya Luhan keluar dari kamar.

"Kau tak mungkin menyeretku keluar dari jendela, kan?" Luhan kembali menarik lengannya, membiarkan adik tirinya semakin mengusut wajahnya. "Lagipula mendung, Jian. Sudah gerimis, tuh!"

Jian melirik ke arah lain, lalu menghela napas pasrah. Ia memutuskan untuk kembali bermain sendirian meski rerintik kecil mulai berjatuhan satu persatu. Luhan memperhatikan adiknya itu, menekan salah sudut bibirnya setelah menghela napas, lalu kembali memaku lipatan lengannya dengan dagu. Luhan terus memperhatikan adiknya hingga suara ibu tirinya terdengar memanggilnya. Luhan menyahut, bangkit, lalu beranjak dari kamar menuju sumber suara. Wanita itu tersenyum sambil mengangkat spatulanya, memberi isyarat supaya Luhan mendekatinya.

"Ma, mau masak apa?" tanya Luhan. Ia memperhatikan pekerjaan wanita yang ia panggil 'Mama' itu, lalu mengambil alih pekerjaannya setelah mendapat penjelasan.

Ibu tirinya ini keturunan Cina, jadi Luhan memanggilnya Mama sebagai panggilan ganti 'Ibu'. Ia baik, kadang cerewet, dan mau menerima Luhan saat pertama kali mereka bertemu. Jarak umur mama dengan ayahnya cukup jauh. Mamanya masih terlihat muda meski sebenarnya beliau sudah cukup tua―umurnya sekitar 50 tahunan. Mungkin yang membuatnya awet muda adalah karena seringnya ia tersenyum dan berpikiran positif. Itu yang Luhan suka dari mamanya.

Sore itu adalah hari ketiganya berada di rumah ayahnya. Luhan sudah muak berada di Seoul. Di ibukota, Luhan pasti tak bisa memblokir pikiran buruknya. Pikiran seperti; Bagaimana kalau aku nanti bertemu dengan Sehun?; Bagaimana kalau aku nanti bertemu dengan Irene?; Bagaimana aku harus― ah, sudahlah. Luhan sedang tak ingin membuat kepalanya meledak lagi karena memikirkan masalah itu.

Kini, di Daejeon, dia berharap kedamaian. Luhan harap, harapannya terkabul.

Selesai membantu mamanya memasak, Luhan menata makanan dan piring-piring di meja makan. Saat itu pulalah ia melihat Jian berlari masuk ke dalam lewat pintu belakang dekat dapur. Luhan refleks melihat keadaan luar dari jendela. Hari sudah hampir gelap. Hujan turun dengan deras.

"Besok ayah mau lepas gips. Kau bisa mengantar ayah?"

"Tentu!" Luhan tersenyum. Melihat ayahnya sudah bisa jalan meski dibantu oleh sebuah kruk, senyum Luhan luntur.

Ayahnya sudah tua. Masih pula bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga barunya. Pria itu keras kepala sekali ingin bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Padahal Luhan bisa membantu keuangan ayahnya dengan apa yang ia miliki sekarang ini. Kekeraskepalaan ayahnya itu yang membuat Luhan merasa menyesal karena membiarkan ayahnya bekerja hingga kecelakaan. Saat Luhan bertanya, mengapa ayahnya bisa jatuh saat bekerja, ayahnya hanya tersenyum sembari menjawab, "Ayah sudah tua. Jatuh saat bekerja karena kehilangan keseimbangan itu wajar, Luhan."

Ya, tapi, kenapa kaki ayahnya sampai retak, sih? Kalau sudah tahu begitu, kenapa ayahnya tidak duduk-duduk santai di rumah dan menikmati masa tuanya? Ayahnya memang aneh. Menyebalkan sekali.

Seharusnya Luhan harus menyaingi kekeraskepalaan ayahnya supaya pria itu berhenti bekerja di usianya yang sudah senja.

Selesai makan malam keluarga, Luhan membantu beres-beres. Waktu itu hujan masih turun. Matahari juga sudah sepenuhnya turun. Langit sudah gelap, jalanan mulai diterangi lampu dari rumah-rumah di daerah itu. Luhan baru saja selesai beres-beres, hendak bergabung dengan ayahnya yang bersantai di ruang tengah, namun urung karena seseorang mengetuk pintu dari luar.

Tu Me Manques [HUNHAN GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang