Saran saya sih bacanya di tempat yang minim pencahayaan dan sunyi, supaya lebih menghayati :)
🍃
AuthorPov
"Halo bun?"
"Fia, sayang kamu siap-siap ya. Nanti kamu di jemput sama om Henri, bunda udah ijinin kamu."
"Eh? Tapi bun...."
"Udah ya sayang, hati-hati di jalan."
"Eh.. bun ada ap--"
Lalu sambungan telepon terputus begitu saja. Fia mengernyit bingung, dia menatap ponselnya. Fia menghela napas pelan, lalu mulai masuk ke dalam kelas.
"Pak maaf, saya di telepon sama bunda...."
"Bapak tahu kok Fia, kamu siap-siap pulang aja."
Fia menatap pak gurunya heran, tapi tak ayal dia mengangguk. Lalu mulai berjalan, menuju bangkunya dan membereskan semua alat tulisnya. Teman-temannya menatap Fia heran.
"Fi? Lo mau kemana?" tanya Ila dengan berbisik.
"Mau pulang."
"Lah ko--"
Ucapan Ila terhenti begitu saja saat terdengar ketukan di pintu kelas. Semua pasang mata menatap ke arah yang sama. Disana berdiri seorang guru dan juga lelaki yang memakai pakaian polisi.
Fia menghela napas pelan, merasa sedikit gelisah. Dia menatap Ila, "gue pulang dulu ya," katanya tak sadar mengeluarkan senyum kaku.
Ila terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. Entahlah, dia bingung dengan sikap sahabatnya akhir-akhir ini.
Fia berjalan keluar kelas, tentunya setelah menyalim tangan pak guru yang sedang mengajar di kelasnya. Dia menatap lelaki dengan pakaian polisi itu, lelaki itu adalah omnya, tepatnya orang yang dibicarakan oleh bundanya, om Henri.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Fia berjalan. Mengikuti langkah kaki omnya, sampai akhirnya mereka sampai di parkiran. Fia menghela napas sekali lagi, semakin kesini dia semakin merasa gelisah.
Tuhan... Sebenarnya ada apa? Tanyanya dalam hati.
Setelah naik, mobil pun berjalan, meninggalkan pekarangan sekolah. Keheningan menyelimuti, ada beberapa orang juga di dalam mobil ini, yang tak lain adalah keluarga Fia juga.
Fia menatap jendela, jalanan di depan sana terlihat macet sekali. Membuat mereka menghabiskan banyak waktu di dalam perjalanan.
Fia menatap Henri, sesekali ingin menyakan kemana mereka akan pergi. Dia menarik napas dalam-dalam, baru saja akan bertanya, tapi getaran di sakunya membuatnya terhenti.
Fia menatap layar ponselnya, ahh~ tangannya bergetar entah karena apa. Disana tertera nama bunda Anin. Fia menggeser ikon telepon, sehingga telepon pun tersambung.
Fia mendekatkan ponsel ke telinganya, entah kenapa lidahnya kelu, dia tak bisa mengucap satu kata. Sampai akhirnya suara tantenya itu terdengar di sebelah sana.
"..."
Hanya satu kalimat, lalu sambungan telepon itu kembali terputus. Fia menutup mulutnya, menahan isakan yang hampir saja keluar. Bersamaan dengan itu suara telepon berbunyi lagi, tapi bukan dari ponsel yang sama.
Melainkan dari ponsel Henri. Lelaki itupun mengangkatnya dengan satu tangan yang masih memegang stir. Sayup-sayup Fia bisa mendengar suara istri om Henri yang menyuruhnya cepat.
Setelah sambungan telepon terputus, om Henri segera mempercepat laju mobil. Dan mulai dari situ Fia merasa tidak mengerti apa-apa lagi, yang dia tahu mereka mengarah menuju rumah sakit.
Air matanya terus turun. Dan tak butuh waktu lama mereka telah sampai di depan rumah sakit. Fia menatap mereka bingung, ingin bertanya tapi mulutnya serasa di bungkam.
Dia perlahan turun, langkah kakinya ragu-ragu. Tangannya bergetar entah karena apa. Sampai saat sampai di lobi rumah sakit, kakak sepupunya menggiringnya ke suatu tempat.
Tempat yang mungkin tak mau di datangi Fia sekali lagi. Tempat yang berkemungkinan besar membuatnya merasakan pengalaman paling buruk di masa hidupnya.
Saat masuk di ruangan itu, IGD. Fia merasakan pelukan seseorang, "kamu yang sabar ya sayang. Ada tante dan om kok sayang."
Fia tak kuasa menahan air matanya, kalimat yang di katakan bunda Anin terngiang-ngiang di kepalanya.
"Ayah kamu udah gak ada Fia."
Fia mencengkeram erat baju tantenya, dia menggelengkan kepalanya. Kakinya terasa lemas, jiwanya seakan melayang. Dia masih belum percaya, tapi apa yang dia lihat sekarang adalah kenyataan.
Ayahnya yang terbaring pucat, dengan beberapa alat yang masih terpasang di badannya. Semua keluarganya tak kuasa menahan air mata. Apalagi mendengar isakan Fia yang terdengar pilu.
Tuhan... Kenapa kau jahat? Kenapa tidak pertemukan aku dengan ayahku disaat yang terakhir? Kenapa tuhan?
🍃
Gundukan tanah itu masih basah, taburan bunga yang masih terlihat segar menutupi gundukan tanah itu. Batu nisan itu memperjelas semuanya. Di sana tertera tanggal hari ini, yang mengartikan gundukan itu baru saja di buat.
Fia memandang sendu tanah basah itu, matanya membengkak. Bekas air mata masih terpatri di pipinya. Orang-orang menatap Fia iba, jujur saja, jika Fia sedang tidak dikondisi seperti ini mungkin dia akan meneriaki mereka agar tak memandangnya seperti itu.
Orang yang berziarah kini mulai berkurang perlahan-lahan. Kakak Fia, Devi berdiri di belakangnya sambil memegang kedua bahunya, sesekali mengelusnya berniat menguatkan sang adik.
Entah kenapa kakaknya itu bisa berada disini, yang pasti kakaknya ternyata sudah datang lebih awal dari Fia, di Rumah Sakit tadi.
Fia menyeka air matanya yang keluar entah sudah keberapa kalinya untuk hari ini. Saat sedang mengusap pipinya, Fia mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Suara berat dan serak yang khas.
Fia mengangkat kepalanya, dia menatap Rafa yang sedang menyalim tangan bundanya lalu berbicara sejenak. Mata Fia terpaku, entah kenapa matanya mulai berulah lagi. Air matanya mulai berjatuhan, bahkan semakin banyak.
Rafa berjalan ke arahnya, dia berjabat tangan dengan kakak-kakak Fia. Lalu berhenti di depan Fia, Rafa tersenyum menenangkan.
Dia menaruh tangannya di kepala Fia, lalu menepuknya beberapa kali dengan lembut.
"Yang sabar ya... Gue turut berduka."
Setelah lelaki itu berjalan meninggalkan pekarangan makam, tangis Fia semakin keras, bahkan melebihi tangisan saat melihat ayahnya di Rumah sakit dengan keadaan tak bernyawa.
Dia menutup wajahnya, menangis sesenggukan sambil berjongkok. Entah kenapa dia merasa sangat ingin menumpahkan semuanya setelah berusaha menahannya sejak tadi.
Ayahhh... Fia, Fia gak ngerti... Fia nggak tahu... Nggak mengerti dengan semuanya, Fia masih belum terima ayah... Fia masih ingin ayah ada disini, disisi Fia. Fia gak tahu apa yang terjadi kalau ayah gak ada... Fia gak kuat ayah... Fia pengen buka mata dan lihat kalau semua ini hanya mimpi buruk, mimpi yang katanya hanya bunga tidur semata, katanya dalam hati.
Fia hanya seorang anak yang masih butuh sosok ayah, sama halnya dengan mereka yang bernasib kurang lebih sama dengan Fia. Mereka hanya anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang tidak lebih dari itu.
Tapi takdir seseorang memang tidak seindah itu, mungkin tuhan telah merencanakan hal lain yang bisa membuat mereka menemukannya. Menemukan seseorang yang tepat untuk menggantikan sosok lelaki yang akan melindungi mereka, seperti halnya sosok seorang ayah.
-----
Hm... Author lagi gak mau buat note... Jadi ya... Gitu...
#salamLazy

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer (Tamat)
Teen Fiction[TAMAT] Bagaimana rasanya ketika orang di masa lalumu datang dan menampakkan diri di hadapanmu dengan alasan yang membuatmu merasa memiliki harapan kembali. ----- Dia masa laluku. Dia orang yang membuatku merasakan yang namanya jatuh cinta dan jatuh...