Bab 1

598 63 68
                                    

Katanya, padaku tuan kasihan. Katanya, tidak mau meninggalkan. Katanya, tuan mengerti tentang perasaan. Katanya, sayang pada puan. Tapi nyatanya, tuanlah yang membuat semuanya berantakan.


Airis merapikan buku-bukunya dengan semangat. Lengkungan di bibirnya tidak memudar barang sedikit. Suasana hatinya benar-benar dalam kondisi baik karena hari ini adalah hari yang membahagiakan baginya.

Janji keduanya dengan Angkasa akan terwujud hari ini. Tujuh tahun yang lalu, Angkasa menepati janjinya untuk bertemu kembali. Tujuh tahun silam pula, mereka membuat janji untuk bertemu lagi ketika Airis tepat berusia tujuh belas tahun.

"Hayo! Lagi pikirin apa?"

Airis dibuat terkejut karena kedatangan sahabatnya, Gina. Sahabatnya satu itu memang hobi membuat Airis terkesiap.

"Apa, sih, Gin? Datang-datang langsung mengacau," kata Airis dengan bibir sedikit manyun. Sedangkan Gina terkekeh seolah tidak bersalah.

"Mengacau apa, coba?" tantang Gina sambil menaikkan dagu. Tangannya ia lipat di depan dada serta berpura tersenyum angkuh.

"Mengacau di pikiranku, lah!" sebalnya setengah mati seraya kembali mengerucutkan bibir. Rasanya jadi pengen Airis makan sahabat tengilnya ini.

"Ya udah, sini aku aduk-aduk pikiranmu! Biar saja, sekalian aku benar-benar mengacau." Gina menarik kepala Airis kemudian diimpitnya dengan lengan hingga Airis tak bisa bergerak. Gina mengacak-acak rambut Airis.

"Gina! Rambutku jadi kusut semua," rengek Airis yang berusaha lepas dari genggaman Gina.

Tubuh Gina tidak sebanding dengan tubuhnya. Gina itu dua kali lipat darinya. Yah, bukan Gina yang kegemukan tapi Airis lah yang terlalu kecil untuk ukuran anak SMA.

"Hahaha." Tawa Gina menggelegar di ruang kelas yang sudah kosong ini. Airis dan Gina, walau sering adu mulut seperti sekarang ini, persahabatannya selalu lengket. Bahkan terlihat seperti saudara sendiri.

"Ris, ada yang nungguin kamu, tuh." Gina menghentikan kegiatan mengacak rambut Airis ketika melihat seseorang tengah berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu.

Airis mendongak. Laki-laki itu terkekeh melihat penampilan Airis yang sekarang. Rambutnya kusut, seperti habis bangun tidur.

Airis menghampirinya dengan berlari kecil. "Kak Tian, ada perlu apa, ya?" tanyanya setelah sampai di depan laki-laki dengan tag nama Agtian Abhifya itu.

"Hehe." Tian terkekeh tidak jelas membuat kerutan di kening Airis tercipta. Tangan Tian kemudian terangkat untuk merapikan rambut Airis.

"Aku bisa sendiri, kak." Airis menepis pelan tangannya tapi Tian menolak. Tangan Tian terus saja bergerak di atas kepalanya dan si pemilik tangan tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Airis menggembungkan pipinya, kesal. Selalu saja seperti ini, pintanya tidak pernah Tian dengarkan.

"Nah, kalau begini Airis jadi manis."

Airis masih merengut kesal. Dia tidak peduli dengan kata-kata manis yang Tian lontarkan. Dia sudah kebal. Sedari dulu Tian selalu bersikap seperti ini padanya.

"Jangan cemberut, nanti cantiknya hilang."

Airis hanya mencebik. Lama-lama ia kesal ketika berhadapan dengan Tian. Gombalnya minta ampun.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang