Bab 10

231 19 48
                                    

Senyummu seperti sinarnya matahari.
Hatiku menghangat melihatnya.


"Iris," ucap Dika begitu masuk ke ruang tamu dan mendapati putrinya tengah mengobrol dengan cowok asing.

Dika lekas menghampiri putri semata wayangnya dan mengecek keadaannya dengan menempelkan punggung tangannya di kening Airis. Raut khawatir sangat jelas pada air mukanya.

"Katanya Iris sakit?"

Airis menyunggingkan senyum. "Iya, tapi sekarang udah mendingan. Cuma sedikit pusing aja."

"Kenapa nggak istirahat di kamar? Nanti tambah sakit, gimana?"

"Riris mau nemenin Arlen," jawab Airis membuat sang ayah menoleh cepat ke arah cowok yang duduk anteng di sofa bagian lain.

"Kamu siapa?" tanyanya pada Arlen.

"Ayah! Aku tadi udah nyebut namanya, loh. Arlen. Namanya Ar-len," ucap Airis sedikit kesal dengan sang ayah.

"Iya, Ayah tahu. Maksud Ayah, dia siapanya kamu, gitu."

"Ya, temennya Riris, lah."

Dika memijit pangkal hidungnya. Sepertinya pusing Airis berpindah padanya. Untunglah dia sudah terlatih untuk menghadapi Airis yang seperti ini.

Dika melirik Arlen. "Ayah baru tahu sama temenmu yang ini." Kemudian beralih pada putrinya.

"Emang Ayah tahu siapa aja temenku?"

Bukan ini jawaban yang Dika inginkan. Airis ini benar-benar pintar menguji kesabaran orang. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian diembuskan cepat.

"Arlen ini orang yang aku ceritain sama Ayah beberapa hari yang lalu," ungkap Airis tiba-tiba. Dika menggerakkan kepala, bergantian menghadap Airis dan Arlen.

Dika berpindah duduk, yang semula berada di dekat Airis menjadi di sofa dekat Arlen. "Jadi, kamu Angkasa?" tanyanya kemudian.

Kedua kaki Arlen sempat berjingkat kaget. Ayahnya Airis diluar dugaan. Dia sempat mengira gadis itu punya ayah yang menyeramkan dan berkumis tebal. Ternyata dugaannya terlalu jauh. Padahal ia pernah berjumpa dengan Dika ketika berusia lima tahun. Daya ingat Arlen memang pantas diberi dua jempol yang mengarah ke bawah. Sangat buruk!

"Om tahu kamu sedang memikirkan apa," ujar Dika membuat Arlen terbelalak.

"Pasti begini, 'Oh, itu toh ayahnya Airis, ganteng juga ternyata.' Iya, kan?" sambung Dika.

Seketika otak Arlen blank. Dia menatap Dika cengo. Om-om di depannya ini narsis. Kepercayaan dirinya tidak kalah dengan cewek-cewek ABG yang suka ber-selca di depan cermin kamar mandi.

"Ayah sejak kapan jadi narsis begini?" celetuk Airis tidak suka. Bibirnya mengerucut kesal dan mengundang tawa ayahnya.

"Nggak, Ayah cuma pengin ngusilin Angkasa. Sekali-kali praktikin hal yang sering dilakuin karyawan perempuan di kantor Ayah. Narsis."

Arlen hanya tertawa ringan. Ayahnya Airis ternyata punya selera humor yang unik. Pikirnya, bisa lah kapan-kapan diajak kolaborasi ngelawak garing.

"Angkasa orangnya pendiam, ya?"

Arlen tersenyum tipis. "Nggak, kok, Om."

"Apanya yang pendiam! Dari dulu suka ngejek aku. Kucing Tersesat, Kucing Tersesat, gitu," sungut Airis tidak terima. Di matanya, Arlen terlihat seperti sosok ibu-ibu rempong. Bayangkan saja, dalam satu kali mereka melakukan komunikasi, Arlen mengirimkan beberapa pesan yang sama dalam satu waktu. Airis selalu dibuat kesal dengan sikap Arlen yang seenaknya.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang