Bab 30

143 12 0
                                    

Aku takut kamu pergi. Tapi aku bisa apa ketika keputusan telah ditetapkan sejak awal?

***

Airis menahan tangisnya, tahu begini ia takkan mengajak Raffa kemana pun. Dia tidak tahu Raffa akan pingsan tepat di depan makam sang ibu. Saat itu dia tidak terlalu memikirkan sakit Raffa karena lelaki itu juga tidak memberi tahu apapun. Maka dari itu, kewaspadaan menurun.

Airis dibiarkan seperti orang bodoh. Cuma dia yang tidak tahu tentang keadaan Raffa secara detail. Memang, Raffa tidak memberitahunya karena takut Airis akan bersedih. Tapi, apakah dengan menyembunyikannya akan membuat Airis merasa tenang? Tidak mungkin. Gadis itu malah semakin tertekan

Airis hanya tahu tentang leukemia tahap akhir yang Raffa derita. Dan itu pun Gina yang memberitahunya. Dia tidak tahu detailnya. Dia ingin tahu dari mulut Raffa sendiri. Namun apa daya, Raffa keukeuh tidak ingin bercerita. Laki-laki itu membiarkan Airis bergelut panjang dengan pikirannya sendiri.

"Es krim?"

Sepasang sepatu converse tertata rapi di depan Airis. Gadis bercepol itu mendongak dan mendapati adik kembar Raffa di sana. Wajahnya sama persis tapi ekspresinya sangat berbeda. Apalagi setelah kebenarannya terkuak. Yah, setidaknya, Airis jadi bisa membedakan mereka.

"Heh, tangan gue pegel dianggurin gini," keluhnya, decakan halus meluncur dari mulutnya.

Mood Airis melonjak walaupun rasa bersalah masih ada. Dia kesal, lelaki di depannya ini benar-benar berubah. Ah, tidak. Bukan berubah, sejak awal inilah sifat Daffa. Dia hanya menutupi sifat aslinya agar ia benar-benar terlihat seperti saudaranya.

"Kan aku nggak minta es krim."

"Udah ambil aja, elah. Lama!" Lelaki itu mendecak kemudian menarik tangan Airis agar mau menerima es krim darinya. Dia kemudian duduk di samping Airis dengan cepat.

Airis tidak mengembalikannya sebagaimana hatinya perintahkan. Dia sebenarnya sedang tidak mood makan, walau es krim kesukaannya sekali pun. Selubung pikirannya terus mengarah pada Raffa yang tidak kunjung sadar. Padahal, sudah berlalu dua jam sejak Raffa dibaringkan di brankar rumah sakit.

"Gue beli pake uang, dimakan jangan diputer-puter doang!" ucap Daffa lagi. Membuat atensi Airis mau tak mau teralih padanya.

"Kamu nggak khawatir sama kakakmu?"

Tatapan Daffa menurun, mendadak sayu. Tangannya bergerak untuk mengambil alih es krim di genggaman gadis di hadapannya. Dengan telaten, ia membukanya hingga terlihat es krim coklat yang mulai mencair. Lantas, Daffa kembali menyodorkannya pada gadis di sampingnya.

"Makan, gue nggak terima penolakan."

Putaran bola mata malas otomatis Airis lakukan. Laki-laki di sampingnya ini keras kepala.

"Gue khawatir. Banget. Selain Ayah sama Mama, gue yang paling khawatir sama dia. Dia tuh jarang ngomongin apa yang sakit, apa yang dia butuhin. Asal lo tau aja, dibalik keceriaannya, dia rapuh banget."

Sembari menyantap es krim, telinganya dipasang baik-baik untuk mendengarkan cerita lelaki di sampingnya.

"Dia hampir gila pas diagnosanya keluar, gue juga gitu padahal bukan gue yang kena. Gue tertekan, gue yang dulunya pengen banget punya sosok kakak malah dikasih gini. Bukannya nggak bersyukur, tapi gue takut kehilangan dia." Daffa tetap tenang, tidak ada kekalutan yang terlihat di matanya. Airis rasa, pembawaan Daffa sangat mirip dengan Raffa. Bisa tenang dalam keadaan apapun. Mungkin, itulah yang membuatnya mudah meniru sifat Raffa—walau tak sepenuhnya.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang