Ini balas dendamku pada Leon sekaligus sebagai hadiah ulang tahun untuk Delya.
*
Yang diam saling memperhatikan. Yang jauh saling mengingatkan. Yang dekat saling menguatkan. Yang tak pernah bertatap muka, semoga lekas bersua.
⛅
Airis menghela napas. Sebagai sie konsumsi yang hanya duduk tenang menunggu para panitia lainnya mengambil bagian konsumsinya saja lelah. Lelah menunggui makanan yang diperuntukkan panitia acara. Panitia acara yang sudah saling berpencar entah kemana. Ada yang menjalankan tugasnya dan mungkin ada yang sedang di kantin, mengingat jam menunjukkan hampir tiba waktunya makan siang.
"Ris, nggak mau nonton turnamen basket? Cowok lo main lagi, masuk final kelasnya." Rista mendudukkan diri di samping Airis, melepas penat sehabis memantau acara. Fyi, Rista mendapat tugas sebagai sie dokumentasi. Dan sekarang, perannya sudah digantikan oleh anak dokumentasi yang lain. Sebab dirinya sudah cukup lama menggenggam kamera.
"Hah, cowok? Siapa?"
Rista terheran kemudian tersenyum canggung dan memegangi bahu lawan bicaranya. "Ris, masa lo lupa sama cowok lo sendiri?"
"Maksud kamu pacar 'kan? Ya, 'kan aku nggak punya pacar," ucap Airis dengan raut penuh tanda tanya.
"Arlen tuh cowok lo bukan, sih?"
"Bukan."
Rista membuang napas kasar lalu memegangi kepalanya. Kalau lupa diri, dia bisa menjambak rambutnya sekalian. Dia suka frustasi sendiri memikirkan orang lain. "Oke, oke. Jadi, tentang hubungan kalian itu cuma sekadar gosip? Nggak lebih?"
Airis mengangguk mantap. Iya yakin, gosip itu pasti bermula sejak tempo hari ketika Arlen dan Tian secara bersamaan berada di depan kelasnya.
Lagi-lagi Rista membuang napas kasar. "Ya udah, intinya di sini lo nggak mau nonton turnamen? Udah final, tuh."
"Emang boleh? Tapi by the way, kok udah final aja?"
Rista mengernyitkan kening. "Boleh, lah! Siapa yang bilang nggak boleh?" Dia melanjutkan, "Anak-anak mainnya pada nggak becus. Juga ada beberapa kelas kena diskualifikasi."
Airis mengangguk-angguk. "Tadi kata Leon, panitia ya tugasnya jadi panitia. Nggak usah main-main mau nontonin segala. Ya, aku nurut aja dibilangin gitu, makanya aku disini dari tadi."
"Lo udah berapa lama jadi OSIS, ha? Mau aja dikibulin Leon. Kayak nggak tahu Leon di depan lo aja. Lo pasti dikerjain sama tuh orang. Lah, dianya sendiri ada di kantin. Awas aja nanti, gue kasih pelajaran dia!" cercanya menggebu-gebu. Tidak lupa dengan tangan kanannya yang sudah mengepal karena sebal. Anak orang mau nonton turnamen kok nggak dibolehin dengan alasan karena udah jadi panitia? Gila si Leon.
"Eh, by the way gue denger kemarin lo marah-marah ke Shirley. Emang beneran? Tumben lo marah, biasanya kalo kesel langsung lo tinggalin orangnya."
Airis memutar bola mata malas. Gosip tentang kejadian kemarin tersebar luas ke penjuru sekolah. Teman seangkatan, adik kelas, kakak kelas, para guru, bahkan satpam sekolah tahu tentangnya. Bahkan tadi pagi sebelum turnamen dimulai, Airis dan Shirley dipanggil ke ruang BK.
Menyebalkan. Gosip yang dibumbui dengan kalimat berlebihan oleh Shirley itu mengharuskannya membawa sang ayah ke sekolah besok. Gila memang. Terutama Shirley yang seenaknya mengatakan bahwa Airis yang memulai.
Airis pikir, apakah ini benar-benar kehidupan sekolahnya? Dia sedang tidak mengikuti peran dalam drama-drama anak remaja. Tapi kehidupannya kini benaran seperti FTV dan dialah tokoh antagonisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
JugendliteraturPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...