Bab 24

108 8 0
                                    

"Kemarikan putriku, Hendra sudah tertangkap!"

"Ayah," lirih Airis. Air mata yang tadinya mengering kini kembali meluncur, menghapus bekas air mata di pipinya. Badannya gemetar, takut jika pisau yang terlihat mengkilap di depan lehernya berhasil menebasnya. Dia tidak ingin meninggalkan ayah yang sangat disayanginya dengan cara seperti ini.

Dika berusaha tenang, melangkahkan kaki secara perlahan ke dekat sang putri. Dia memandang ke sekeliling untuk menemukan posisi Arlen. Sayangnya, bukan hanya Arlen yang ditemukannya, foto-foto Risa juga sampai pada matanya.

"Apa-apaan ini!" Kaki Dika terasa lemas. Dia terduduk di lantai karena terkejut dengan pemandangan yang baru ia sadari. Matanya berkaca-kaca, tidak sanggup memandang foto-foto itu.

Semuanya berseru memanggil Dika karena terkejut. Tak terkecuali dengan Arlen yang langsung menerobos kardus di hadapannya dan menghampiri Dika.

Pria paruh baya itu menggeleng dan menguatkan diri. Dia tidak boleh serapah ini untuk menolong putrinya. Nyawa putrinya kini berada di ujung tanduk. Lengah sedikit, pisau itu akan menebas leher Airis.

"Pak, Hendra sudah kami tangkap. Akan sia-sia jika Anda masih menahan putri saya." Dika bangkit kemudian maju dengan perlahan.

"Atau saya beri kesempatan untuk Bapak katakan apapun keinginan Anda!" Juna berseru kencang dari ambang pintu. "Kalau Bapak bisa diajak kerja sama, saya akan pertimbangan, ah tidak, saya akan berusaha untuk mengabulkannya."

Gina yang menonton dari belakangnya lagi-lagi terperangah dengan perbuatan sultan oleh Juna. Gina tidak bisa berpikir lagi. Bagaimana jika setelah ini, pria yang menahan Airis meminta uang seratus juta, atau bahkan lebih?

"Saya tidak main-main," ucap Juna lagi setelah berdiri di samping Dika.

Tangan pria yang menggenggam pisau itu melemas. Pandangannya turun ke lantai yang ia pijak. "Saya minta maaf. Penjarakan saja saya ini. Saya tidak pantas lagi," katanya.

Sebenarnya, sedari berbincang dengan Airis untuk kali pertama, hati kecilnya terasa sesak. Sedih melihat gadis rapuh yang disandera tuannya. Karena kata-katanya pula, ia mengingat putrinya yang seumuran Airis yang sudah dua tahun lamanya tidak ia kunjungi.

Airis yang terlepas dari jerat pria itu langsung berlari ke arah sang ayah. Memeluknya erat dan menangis sejadi-jadinya. Melupakan perih pada kaki dan tangannya.

"Ayah," lirihnya.

"Iris tenang, ya. Ayah udah di sini. Ayah nggak bakal ninggalin Iris. Maafin Ayah," tutur Dika sembari mengusap dan sesekali mengecup puncak kepala putri semata wayangnya.

"Ayah, Mama--"

"Iya, Ayah tahu. Iris jangan inget-inget itu dulu, ya."

Dika melepas pelukannya. Membawa Airis pada teman-temannya agar gadis itu ditenangkan. Dia juga memberitahu pada teman-teman Airis untuk mengantarkan putrinya ke rumah sakit, mengobati memar dan lukanya.

Bukan tidak peduli pada Airis, Dika hanya ingin hendak mengurus kasus ini secepatnya. Menginterogasi semua orang yang terlibat dalam penculikan Airis dan pembunuhan terhadap Risa, istrinya.

"Ris," panggil Arlen, membuat Airis mendongak dan menatap Arlen dengan wajah sendunya. Tapi tubuh Airis tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Dia limbung ke arah Arlen.

Sedangkan lelaki itu masih tidak siap menahan Airis. Akhirnya keduanya terjatuh dengan Airis berada dalam peluknya. Dia bergerak pelan karena tahu ada memar dan luka di tangan gadis itu. Dia takut pergerakannya menambah sakitnya.

"Ris," ucapnya sambil menepuk pelan pipi gadis di pelukannya. Tapi tak ada respon. Akhirnya dia menarik kesimpulan, "Airis pingsan!"

Seluruh atensi mengarah pada gadis berbaju baby blue. Termasuk orang-orang yang bergerombol mengelilingi pria yang tadi menahan Airis. Dika mengurungkan niat untuk menginterogasi pria itu. Kesehatan Airis lebih penting. Airis harus segera dibawa ke rumah sakit.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang