"Eum, hai Ra. Apa kabar? Maaf, aku tau kamu pasti masih belum nerima ini semua. Tapi, seenggaknya kamu harus tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan ... alasan aku melakukan ini. Sekali lagi, maaf."
Airis terkejut setelah mendengar suara Raffa yang berasal dari ponsel sahabatnya, Gina. Dia yang tadinya sedang membelakangi Gina—mereka habis berdebat tentang masalah Airis dengan Raffa—otomatis menggerakkan kepala. Lantas, menatap Gina penuh tanya.
"Udah, ah. Coba kamu ngomong baik-baik sama Arl-eh, Raffa. Dengerin semua penjelasan dari dia, baru kamu boleh putusin apa yang mau kamu lakukan setelah ini." Mulut Gina lebih terbiasa menyebut nama Arlen daripada Raffa. Jadi, maklumi jika Gina masih sering salah sebut.
"Gin ...," ucap Airis dengan sorot memelas. Namun tidak membuat jiwa Gina gentar. Sekarang, Gina malah menarik tangan Airis dan menyerahkan ponselnya. Lantas, ia berlalu meninggalkan Airis sendirian di kamarnya.
Situasinya menjadi canggung. Airis hanya sibuk melirik kesana-kemari, tidak tahu harus apa. Sebenarnya, dia bisa saja langsung menekan tombol merah untuk memutuskan sambungan video call dengan Raffa. Tapi, entah mengapa dia tidak melakukannya.
"Eum, Ra-ya ... sebenernya aku bingung harus mulai dari mana. Atau begini aja, sebelumnya, aku Arlenio Raffa Angkasa. Aku Angkasa, laki-laki yang dulu ketemu sama kamu di rest area yang gelap itu. Beneran, aku nggak bohong."
Airis tidak menatapnya, walau ingin. Luka yang disebabkan cowok di seberang, membuat egonya menjulang tinggi, mengalahkan akal sehatnya yang terus mengatakan agar ia melontarkan beberapa pertanyaan yang bersarang di otaknya.
"Sekarang, tanya apa aja ke aku. Aku bakal jawab sejujur-jujurnya."
Airis menggeleng kecil sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya. Rasanya ia tidak sanggup bahkan hanya jika menatap wajah Raffa.
"Dulu, waktu aku bilang mau ke London, itu beneran. Setelah beberapa hari di sana, aku diajak ke rumah yang ternyata tempat saudara kembarku tinggal. Dia ... dirawat Mama diem-diem. Iya, dulu aku nggak tau kalo aku punya kembaran." Raffa menunduk dan terkekeh halus.
"Namanya cuma beda tipis sama aku sendiri. Arlenio Daffa Angkasa. Lucu kan? Cuma beda 'R' sama 'D'. Lucunya lagi, sifat kami bertolak belakang. Aku yang orangnya humble dan hangat, dia dingin dan ketus sama orang. Tapi, kamu pasti heran sama kenyataan itu karena kalau Daffa di depan kamu, dia mirip sama sifat aku banget."
"Dia baik, kan? Kalo aku udah nggak bisa ketemu sama kamu untuk selamanya, kamu bisa nemuin dia." Senyum tulus terbingkai di wajahnya yang jika diperhatikan lebih seksama, tidak baik-baik saja.
"Nggak!" Untuk pertama kalinya, ia melontarkan kata. Dia tidak bodoh dengan makna semua kalimat Raffa. Cowok yang biasanya hanya menceritakan dirinya sendiri, kini bercerita tentang orang lain. Airis tidak suka.
Dia memejamkan mata sejenak, lantas memberanikan diri untuk menatap wajah pucat Raffa di seberang sana. Raffa tersenyum lebar hingga kedua lesung pipinya timbul.
Namun beberapa detik kemudian, panggilan video itu tiba-tiba terputus. Lalu, sebuah notifikasi muncul di notif bar ponsel Gina.
Kuotanya habis. Sial, Airis yang tidak pernah mengumpat itu kini mempunyai keinginan untuk berkata kasar. Gina membantu orang tapi nggak kira-kira kalau kuota internetnya mau habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Teen FictionPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...