"Ra, aku nggak pa-pa."
Raffa masih menutupi hidung mancungnya dengan tangan kanannya dan terus berkata bahwa dirinya tidak apa. Padahal darah terus mengucur melalui indra penciumannya. Dia hanya tidak ingin Airis semakin khawatir. Terlebih di saat Airis berjalan cepat tanpa mempedulikan seseorang orang yang sempat ia senggol.
Sekarang lorong sekolah sudah sepi—karena KBM sudah dimulai—membuat Airis merasa lebih leluasa untuk mengayunkan kakinya menuju UKS lebih cepat dari sebelumnya.
"Ra, aku nggak pa-pa. Kamu masuk kelas aja, ada ulangan kimia, kan?"
"Bisa nggak, pikirin darah yang terus keluar dari hidung kamu itu. Pikirin diri kamu sendiri sebelum kamu mikirin orang lain. Kamu juga butuh diperhatiin, bukan orang lain aja."
Raffa tertohok. Kalimat yang baru saja ia dengar dari mulut Airis bukan semata untuk hal ini-tentu saja. Airis tahu bahwa Raffa lebih suka mementingkan orang lain terlebih dahulu dibanding dirinya sendiri. Sebagai contoh, kelakuan Raffa yang malah menyuruh saudara kembarnya untuk menyamar menjadi Raffa. Raffa melakukan itu dengan tujuan agar Airis tidak lelah menunggunya. Padahal saat itu dirinya juga tidak baik-baik saja.
"Kamu sebenarnya sakit apa?"
Raffa terdiam. Menunduk dalam dan mengabaikan perintah Airis agar mendongak untuk dibersihkan darah di hidungnya. Mulutnya bergetar ingin mengatakan hal yang sejujurnya tetapi hatinya menolak. Egonya kali ini menyuruhnya untuk tidak berkata apapun. Akal sehatnya sudah kalah.
"Berbahaya, ya?"
Laki-laki itu mendongak. Mencoba menerka apa maksud dari kata 'berbahaya' yang Airis lontarkan.
Airis menghela napas, "Penyakitnya berbahaya, kan? Makanya kamu nggak mau kasih tau aku. Takut aku kepikiran sama kamu?"
Airis sebenarnya mengetahui penyakit apa yang diidap cowok di depannya ini. Ia tahu dari Gina. Tetapi ia ingin mendengarnya langsung dari mulut Raffa. Airis berharap bahwa Gina lah yang berbohong.
Melihat raut Raffa, membuatnya mengerti. Semua yang dikatakan Gina benar adanya. Penyakit berbahaya yang sedang menggerogoti tubuh Raffa yang kini kian membuatnya melemah.
"Halah, kepedean. Siapa juga yang mau mikirin kamu?" Sebenarnya Airis ingin menangis sekarang juga. Tapi itu tidak mungkin, ada Raffa di depannya. Dia tidak mungkin membuat Raffa semakin tertekan karena ketidaksanggupannya menerima kenyataan. Dia harus lebih mengontrol diri.
Raffa menarik bibirnya hingga membentuk lengkungan bulan sabit. Tetapi senyum itu adalah senyum yang pahit untuk orang lain lihat. Semua gambaran betapa menyedihkannya hidup di bawah bayang-bayang penyakitnya.
Dirinya bahkan tidak pernah menyangka bahwa leukemia yang mamanya derita menurun padanya. Dia pernah menyalahkan takdir, menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padanya. Tapi semuanya hanya percuma. Leukemianya tidak bisa dikembalikan, dia tidak bisa menolak dengan apa yang Tuhan berikan padanya.
"Hari ini ada agenda, nggak?" Tanya Airis tiba-tiba. Usai mengobati Raffa, ia duduk dengan riang dan penuh senyum tulus di samping laki-laki yang kini menatapnya terkejut.
Tidak ada lagi sorot sedih di mata Airis. Hanya ada ketulusan yang bisa Raffa lihat dengan jelas. Sosok Airis yang benar-benar Raffa rindukan.
Laki-laki itu masih ingat bagaimana dulu, ketika mereka bertemu dan berpisah untuk kedua kalinya. Kala itu Airis menjadi anak super cengeng ketika tahu bahwa dirinya akan kembali ke London untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Airis bahkan merengek pada sang Ayah agar ia dibiarkan ikut dengannya. Airis memang pernah secengeng dan selemah itu.
Namun semuanya berbeda ketika ia telah menginjak 17 tahun. Tidak ada lagi tangisan pilu dari bibir Airis, tidak ada lagi rengekan agar orang di sekitarnya menuruti egonya, dan tidak ada lagi gadis kecil yang menggenggam ujung baju ayahnya ketika akan Raffa tinggalkan. Bahkan ketika tahu bahwa leukemia yang diidap Raffa sudah di tahap akhir, Airis masih bisa diam. Airis tumbuh menjadi sosok yang kuat meskipun tidak ada sosok Mama di sampingnya.
Tidak seperti Raffa yang saat itu hampir gila ketika diagnosanya keluar. Tidak sepertinya yang saat itu menyalahkan Tuhan karena penyakitnya. Tidak sepertinya yang dulu membenci dan sosok Mama yang melahirkannya.
Raffa tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. Ingatannya membuatnya ingin kembali pada masa lalu, di mana ia masih bisa menjadi anak yang tersenyum lebar tanpa beban. Tapi itu hanyalah angan yang tak mungkin ia gapai.
Raffa kemudian menatap Airis teduh, "Mau ngajakin aku ke luar?"
"Kepercayaan diri kamu tuh tinggi banget." Airis mendengus sebal. "Tapi emang bener, sih. Aku pengen ngajakin jalan-jalan," lirihnya kemudian.
"Ya udah, ayo. Mau kemana?"
"Terserah."
"Loh? Kan kamu yang ngajak."
"Iya, tapi aku pengennya ke tempat yang pengen kamu datengin."
***
Badan Airis tiba-tiba menggigil ketika berjalan di jalan setapak yang terdapat pohon-pohon tinggi di setiap sisinya. Kakinya terasa seperti jeli. Ia ingin terduduk sekarang juga. Dia juga ingin berbalik lalu kabur meninggalkan Raffa di sini.
Tapi itu tidak mungkin karena Airis sendiri yang menyerahkan tujuan destinasi jalan-jalannya pada pemuda yang berada di depannya ini.
"Kenapa kesini, sih?" katanya sambil semakin merapatkan kedua tangannya yang sedari tadi bersedekap.
Matanya melirik tidak tenang ke arah batu nisan yang berjejer rapi di sekelilingnya. Ada rasa haru dan merinding dalam waktu bersamaan menyerang tubuh Airis. Dia jadi teringat pada sang Mama yang bahkan belum ia kunjungi sama sekali meskipun sudah tahu lokasi pemakamannya dari ayahnya.
Dia tidak tega. Airis tidak pernah tega untuk kembali membuka luka dengan mengunjungi mamanya. Dia terlalu takut tidak bisa menerima kenyataan seperti hari-hari kemarin.
"Aku udah lama nggak kesini, Ra. Mama Santi pasti kangen aku. Selama ini, aku selalu dilarang kesini sama Mama Maya dengan alasan kesehatanku. Habisnya, tiap dari sini, suhu tubuhku langsung naik," tutur Raffa dengan tenang. Setelahnya, ia memutar badan menghadap Airis.
Gadis itu menghentikan langkahnya dan menunduk dalam. Air matanya menetes tanpa aba-aba. Hal baru hari ini adalah kenyataan bahwa Raffa sama sepertinya, sudah tidak memiliki sosok ibu kandung. Bedanya, Raffa masih bisa merasakan hangatnya kasih seorang ibu dari ibu tirinya. Sedangkan Airis, tidak pernah menerima hangatnya tangan seorang ibu sejak malam itu.
Airis kesal. Bukan kesal pada Raffa. Dia kesal pada diri sendiri yang tidak pandai mengontrol emosi sejak kejadian itu. Ingatan tentang hari itu pun terkadang masih terputar secara otomatis dalam kepalanya. Dia ingin marah tapi tak tahu harus marah pada siapa.
Melihat wajah Airis yang memucat, Raffa kontan bertanya keadaan gadis di hadapannya ini. Tetapi Airis cuma menjawabnya dengan gelengan kepala dan kalimat, "Nggak pa-pa, cuma kangen Mama."
"Mau pulang aja?"
Airis menggeleng sekali lagi, "Udah sampe sini, masa mau pulang?"
Raffa menghela napas. Ada rasa bersalah karena mengajak ke tempat pemakaman umum tanpa sepengetahuan Airis sendiri. Apalagi, dadanya seolah dihantam ribuan paku ketika melihat Airis menangis tepat di depannya. Menangis karena kesalahan Raffa sendiri.
"Yakin, Ra?"
Airis menghapus bekas air matanya dengan cepat, lalu mengangguk mantap. Habis mendung, senyum di bibirnya terbit seolah tidak ada kejadian apapun yang baru saja terjadi.
"Ayo tunjukkin jalannya, keburu malem. Kan nggak lucu kalo kita malem-malem di pemakaman."
Airis menggenggam tangan Raffa kemudian menariknya agar laki-laki itu kembali melanjutkan jalannya yang sempat terhenti. Pemuda itu menerbitkan senyum hingga kedua lesung pipinya timbul.
"Ke sini, Ra. Kelewatan tadi."
Airis menekuk bibirnya sebal, "Kamu sih, nggak bilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Teen FictionPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...