Bab 23

105 7 0
                                    

Sebelum posisi Airis ditemukan. Bab ini isinya dikit tapi nggak dikit-dikit amat.

Ambisi yang terlalu tinggi tidak baik untuk semuanya.

"Para pegawai di perusahaan sudah dipastikan keluar dari gedung. Ini antisipasi jika kemungkinan terburuk terjadi pada gedungnya. Sekarang, susun strategi untuk masuk ke rumah itu," jelas Juna membuat yang lainnya mengangguk.

Mereka sudah sampai di tempat tujuan, tempat dimana Airis berada. Namun Juna menyuruh agar mobil tidak diparkirkan terlalu dekat dengan rumah tiga lantai yang menjadi tempat sandera. Kalau jalan kaki, sekitar sepuluh menit sampai. Tian dan Gina sudah ke sana untuk melihat-lihat. Mereka berpura-pura sebagai pasangan yang sedang berjalan-jalan. Yah, walaupun sempat ada pro kontra antara mereka sebelumnya.

Menurut keduanya, rumah itu tidak punya penjagaan yang ketat. Di halamannya hanya ada dua mobil berwarna hitam, tidak ada orang satu pun.

"Gimana kalo gue yang maju?" usul Arlen.

"Jangan main maju-maju aja. Kita bahkan nggak tahu persis gimana dalem rumahnya. Apalagi, rumah tiga lantai," sela Gilang.

Tian menyahut, "Iya dari luar kelihatan sepi tapi kalo di dalem ternyata banyak orang, gimana? Lo cari mati namanya."

Juna menengahi. Dia menghentikan Arlen yang sepertinya akan menyahuti kalimat Tian. "Nggak usah debat dulu, saya punya strategi yang tepat. Yang mau nyanggah, nanti aja."

Dika menegakkan punggung setelah mendengar pernyataan Juna. Dia percaya pada Juna.

"Pak, sebelumnya saya minta izin. Saya mungkin akan pakai kata-kata informal agar mereka juga paham," tutur Juna sebelum menjelaskan strategi dalam otaknya.

Dika terkekeh sebentar, "Nggak perlu izin, Jun. Kalo bisa mulai sekarang, meskipun lagi jam kerja panggil Om jangan Bapak."

Juna tersenyum, senang setelah melihat ayah satu anak itu terkekeh walau sekejap. Kemudian, tangannya mengambil secarik kertas dari saku jasnya. Tangannya lihai menulis sesuatu di atasnya. "Tadi, kita sama-sama udah denger tentang syarat dari Pak Hendra. Dia bilang kalo Om harus menyerahkan perusahaannya buat nebus Airis."

"Jadi, aku mau Om ngasih perusahaan buat Pak Hendra." Juna mengeluarkan ponselnya, menekan ikon aplikasi perpesanan di sana.

Seluruh pasang mata membulat bersamaan. Bingung dengan keputusan Juna. Padahal, dia lah yang tadinya melarang Dika untuk menyerahkan perusahaannya pada Hendra.

"Tapi pura-pura aja," sambung Juna. Lalu menunjukkan gambar yang tadi ia buat. Di sana terdapat beberapa lingkaran lengkap dengan nama mereka.

"Om telpon orang itu, bilang kalo Om nyerahin perusahaan. Ajak dia ke suatu tempat, nanti Gilang yang nemenin Om, takut-takut ada sesuatu terjadi. Om juga harus kasih waktu yang super mepet ke Pak Hendra. Biar kita bisa gerak cepet."

"Aku juga bakal telepon beberapa kenalan polisi biar standby di sana buat nangkep Pak Hendra."

"Dan ... karena cuma bawa satu mobil dan nggak mungkin mobil ini yang dibawa ke sana, nanti aku pesen dari aplikasi. Om atau Gilang bilang ke driver-nya buat tungguin sampe selesai, tapi tunggu dari jauh aja. Sekiranya bisa pantau juga."

"Kalo driver-nya nggak mau nungguin gimana?" celetuk Gina memecah atmosfer keseriusan di antara mereka.

"Nanti Om bilang, 'Saya kasih seratus ribu tiap 10 menit.' ke driver-nya. Dia pasti nggak akan nolak," sahut Dika dengan cepat membuat Gina ternganga. Aura sultan dari Ayah sang sahabat semakin terpancar. CEO dari perusahaan game memang beda.

"Kalo gitu saya aja yang jadi driver-nya, Om," timpal Tian dengan wajah seriusnya, membuat Dika lagi-lagi terkekeh.

"Tapi harus punya mobil dulu."

"Sudah, sudah. Nggak selesai buat cari Airis ini." Juna sebenarnya tidak ingin merusak momen Dika tertawa. Tapi apalah daya, di suatu tempat sana, Airis sedang disandera. Nyawanya bisa jadi taruhannya.

"Nah, yang di sini 'kan tinggal empat orang. Rencananya, setelah Om berhasil mancing Pak Hendra, aku sama Arlen bakal coba masuk ke rumah itu. Cari tempat Airis lebih detail lagi. Kita bakal pencar dan usahakan biar nggak ketahuan. Setelah ketemu tempat Airis, kasih tahu di grup yang baru kubuat. Biar semuanya tahu."

"Kalo perlu telepon aja sekalian, prioritas kabar lewat telepon itu Tian, Gilang, dan aku. Setelah tau posisi Airis, aku bakal nelepon beberapa kenalan bala bantuan lagi. Tian bantu telepon ke kantor polisi."

"Kalo polisinya nggak gerak cepat gimana?" tanya Tian.

"Ah, kalo gitu telepon polisi yang namanya Dendy aja. Nggak perlu kantornya tapi orangnya. Dia temenku." Juna mengutak-atik ponselnya lagi kemudian menuliskan sebuah nomor telepon pada kertas. Dia menyerahkannya pada Tian. "Jangan lupa buat bilang, nggak usah bunyiin sirine. Kalo sampe bunyiin sirine, bakal habis di tangan Juna."

Tian dan Gina menatap horor ke arah Juna. Sedangkan pemuda dua puluh tahun itu tampak tidak peduli. Dia serius dengan ucapannya. Katanya, demi kelancaran strategi yang telah ia susun.

"Lalu, kalo polisi udah dateng, jangan langsung masuk gitu aja. Nunggu kabar dari aku. Tunggu Om Dika. Setelahnya, kalian berdua boleh ikut lima menit setelahnya. Gina sama Airis sama-sama perempuan, Gina bisa tenangin Airis. Aku yakin, Airis shock dan bakal punya trauma setelah kejadian ini."

"Eh, tunggu. Om yakin kalo temen-temen Om bakal bantu?" Kini giliran Arlen yang bertanya. "Apa nggak sebaiknya hubungi sekarang aja? Kalo nanti kabarnya dadakan kayak tahu bulat, terus mereka ternyata nggak bisa, bisa kacau rencananya."

"Tunggu, siapa yang kamu panggil Om?" Juna menatap nyalang. Ternyata, ada Airis versi cowok.

Arlen ragu-ragu menunjuk Juna. Dia sadar, sepertinya ada yang salah dengan ucapannya tadi.

Juna memijit pangkal hidungnya. Dia memaklumi, karena ini kali pertama ia berjumpa dengan teman-teman Airis. Tadinya, mereka hanya saling bertukar nama tanpa tahu bahwa Juna terlalu muda untuk dipanggil Om oleh anak berusia tujuh belas tahun.

"Inget, ya. Aku cuma tiga tahun di atas kalian, jadi jangan panggil Om. Dan untuk urusan manggil temen-temenku nggak usah khawatir. Aku bikin grup WhatsApp sama mereka, sebentar lagi mereka bakal balas pesanku."

"Bikin grup cuma buat--"

"Udah, nggak usah lanjutin. Om mau nelepon Hendra aja. Juna pesen mobilnya, kita mulai beraksi!" tangkas Dika sambil mengacungkan ponselnya. Tepat jam delapan pagi, mereka mulai bergerak.

"By the way, Kak. Kenapa kita nggak dari awal minta batuan polisi? Dari kemarin misalnya?" bisik Gina pada Juna yang ada di sebelahnya.

Juna membalasnya dengan bisikan pula, "Itu namanya kita gegabah. Apalagi kita tahu kalo penculiknya ngelarang buat hubungi polisi. Polisi juga nggak bisa dipercaya gitu aja. Yah, bukannya mau nyalahin mereka juga. Tapi, aku tahu betul mereka gimana walaupun ada beberapa yang serius ngejalanin tugasnya."

"Tahu darimana?" Gina masih membisik.

"Jujur aja, aku punya pengalaman buruk sama polisi yang nggak becus. Om Dika juga gitu, makanya dari awal kita menghindari kantor polisi. Kalaupun harus, itu pasti ke kenalan kami. Nggak langsung ke kantornya, tapi orangnya." Juna pun menjawabnya dengan bisikan.

😭 Mau nangis aja! Aku rasa ini tidak masuk akal! HHAHAHAHA😭

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang