Epilog

346 8 2
                                    

Raya telah kehilangan Angkasanya. Satu lampu yang selama ini berpendar terang untuk kehidupannya telah kehilangan cahayanya.

***

Terhitung seminggu setelah Raffa meninggalkan luka yang cukup dalam di hati Airis. Gadis itu sudah perlahan menjadi Airis yang seperti biasa. Tak ada lagi isakan tangis setiap malam dan tidak ada mata sembab setiap pagi harinya. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa bayang-bayang Raffa masih menghantui pikirannya.

Dia menjalani kehidupannya seperti biasa, bersekolah, mengerjakan tugas, kembali aktif di kegiatan OSIS, bahkan jalan-jalan bersama Gina untuk menyegarkan pikiran—tentunya dengan Gina yang memaksanya.

"Jean, aku juga mau jelinya!" seru Kinan ketika seorang gadis baru mendaratkan pantatnya di bangku kantin. Sebungkus jeli di genggamannya ia tawarkan kepada teman-temannya, tapi tidak untuk Kinan dan Daffa.

Untuk permasalahannya dengan Daffa, Jean merasa canggung walau sedari ia berusia 8 tahun tinggal seatap dengan kakaknya satu ini. Kerenggangan hubungan antarsaudara tiri itu terjadi bukan tanpa sebab. Semuanya bermula ketika Daffa membentak sang ayah dan mengatakan bahwa ia tidak suka dengan keluarga barunya.

Kalau dengan Kinan, Jean kesal karena tadi pagi gadis itu membuatnya jengkel. Bayangkan saja, Jean yang sedang tidur saat jam kosong karena semalam bergadang mengerjakan tugas prakarya tiba-tiba dibangunkan dengan alasan ada guru yang masuk. Ketika Jean terbangun, tidak ada satupun guru di kelasnya. Dia malah mendapat tawa dari Kinan.

"Jean," rengek Kinan membuat semuanya terkekeh. Pemandangan cekcok antara Kinan dan Jean adalah makanan sehari-hari mereka ketika di sekolah.

"Kasih aja, Je. Kasihan anak orang," sahut Gina membuat semuanya terkekeh, kecuali Daffa yang duduk tenang di samping Gilang sambil mengaduk-aduk es teh manisnya dengan sedotan.

Dia tidak terlihat peduli dengan keributan yang dibuat Kinan dan Jean. Jengah adalah satu kata yang ada dalam otaknya saat ini. Semenjak ia menjadi dirinya sendiri, Daffa cenderung diam dan berbicara seadanya.

Kecuali jika mengobrol dengan Airis. Sebisa mungkin ia membalas Airis seperti saat dirinya masih menyamar menjadi saudara kembarnya.

"Daffa juga ditawarin, Je. Dari tadi dia ngelamun sambil ngaduk es tehnya," timpal Gilang disusul dengan senggolan kecilnya untuk lengan Daffa.

Jean membeku. Tangannya yang menggenggam bungkus jeli gemetar karena terlalu takut untuk berinteraksi dengan Daffa. Niatan untuk membangun hubungan yang baik dengan kakak tirinya itu selalu ada dalam hatinya. Tapi apa daya, niat baik itu selalu tertekan ketika Daffa melayangkan tatapan dingin padanya.

"Aku perhatiin kalian ini jarang ngobrol. Ada masalah apa, sih?" Airis akhirnya ikut dalam obrolan setelah menyadari gelagat aneh yang ditunjukkan adik kelasnya itu.

Daffa tetap diam. Pun dengan Jean yang pura-pura tidak dengar.

"Daffa sama Jean, coba lihat aku," pinta Airis lalu menyuap jeli pemberian Jean ke mulutnya. Dia mengunyahnya perlahan sembari menatap kedua anak manusia yang memiliki hubungan tak baik itu.

Keduanya menoleh secara bersamaan, lantas menatap Airis penuh tanya. Airis menundukkan pandangan seraya meletakkan dua jarinya di dagu. Dia berpikir sejenak. Setelah selesai dengan pikirannya, ia kembali menatap Daffa dan Jean bergantian.

"Ikut aku sebentar," pinta Airis seraya beranjak dari tempat duduknya.

Jean langsung menurut. Sedangkan Daffa terlihat tidak peduli, dia tetap duduk tenang dengan tangannya mengaduk es tehnya.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang