Bab 8

254 25 34
                                    

Aku tidak meminta lebih.
Masa hanya peduli padaku kamu tidak mampu?


"Gin, Gina, Gina!"

Lengan gadis kelahiran bulan April itu terguncang keras dan pelakunya adalah sahabatnya sendiri, Airis. Gina hampir pusing dibuatnya.

"Aku pengin cerita!" cetus Airis. Dia terlihat seperti anak kecil yang memiliki kewajiban untuk menceritakan hal-hal yang terjadi selama bersekolah kepada orang tuanya.

"Angkasa—"

"Apa? Angkasa udah kembali?" ucap Gina asal ceplos. Dia melirik Airis yang kini telah menatapnya dengan mata berbinar.

Gina sebenarnya sedikit tahu tentang Angkasa dan tentu saja karena cerita-cerita dari Airis. Selama ini Gina hanya diam, menjadi pendengar yang baik bagi sahabatnya yang tengah merindu.

"Kok kamu tahu? Kamu cenayang, ya? Bisa meramal?" tanyanya penuh selidik. Matanya memicing menuding penuh curiga pada Gina.

Alis Gina tertekuk kesal. Kalau sahabatnya bukan tipikal gadis polos, ia yakin kepalan tangannya sudah mendarat di kepala Airis. Cenayang apa! Gina masih normal seratus persen. Mau cenayang, peramal, atau apapun itu Gina tidak ada urusan.

"Ramal aku, dong," pinta Airis seraya menunjukkan kedua telapak tangannya. Gina mengangkat sebelah alisnya. Dia tidak mengerti.

"Aku lihat di TV kalau mau ramal tuh begini."

"Ris, please, deh."

"Iya, iya. Aku cuma mau bercanda tadi," sungut Airis. Niatnya bercanda selalu berakhir buruk. Kemarin Juna dan hari ini Gina. Sepertinya Airis memang tidak punya bakat untuk melucu.

"Ris, ada yang cariin lo," kata salah satu temannya, Gea. Atensi Airis teralihkan menuju ambang pintu. Di sana, ia melihat Tian sedang berdiri sambil sedikit misuh-misuh.

"Kak!" ucap Airis sambil menepuk bahu cowok itu pelan. Airis memandang lalu tersenyum ke arah gadis yang baru saja ngobrol dengan Tian. Namun yang ia dapat bukan senyuman balik melainkan pelototan tajam dari gadis dengan tag nama Selin itu.

Airis yang tidak terbiasa dengan hal seperti itu terkejut bukan main. Apakah ia punya salah?

"Inget aja kata gue tadi," kata gadis itu kemudian memutar tumit meninggalkan Tian dan Airis.

Setelah punggung Selin tak terlihat lagi, barulah Tian menghadap Airis. Wajahnya murung, tidak seperti biasanya. Hal itu mengundang rasa penasaran dalam diri Airis meningkat.

"Kenapa, Kak? Ada masalah?" tanyanya seraya menatap Tian penuh tanya. "Eh, maaf. Aku nggak bermaksud ikut campur."

Cowok bermata sipit itu malah terkekeh. "Tumben lo tanya-tanya. Mulai perhatian sama gue, ya?"

Decakan pelan terlontar dari mulut Airis. "Mulai, deh. Kepalanya besar, tuh!" cetusnya sambil mengarahkan dagunya ke arah kepala Tian.

Gadis penyuka boneka beruang itu mengalihkan perhatiannya. Netranya menyelidik seluruh koridor yang cukup ramai dengan lalu lalang murid lain. Meneliti seluruh murid yang melintas di hadapannya.

"Kak Airis," sapa Delya, anak jurnalistik divisi fotografer.

Airis mengangguk sambil tersenyum. Melihat Delya membuat memorinya tentang rapat osis kemarin terpanggil. "Eh, eh, Del! Tunggu."

Delya yang sempat berbalik spontan memutar tumit menghadap kakak kelasnya itu. Tatapan penuh tanyanya mengundang Airis untuk segera menghampirinya.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang