Jangan sakit. Aku di sini. Jika boleh, berikan sakitmu padaku saja.
⛅
"Jam segini Airis pasti udah ada di rumah, kan?" monolognya sambil bercermin merapikan rambutnya. Sesekali ia melirik arloji di tangan kirinya. Selalu was-was, takut Airis sedang tidak di rumah.
"Ambil style yang gimana, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Arlen terlihat melebihi seorang wanita yang hendak keluar. Rempong.
Setelah dirasa tatanan rambutnya pas, Arlen segera melesat ke rumah Airis. Jangan ditanya bagaimana ia tahu rumahnya Airis, 'kan sudah pernah kirim kado.
Di perjalanan, otaknya mengingat sesuatu. Dia lupa dengan buah tangan yang ingin ia berikan pada Airis dan keluarganya. Masa mau bertamu tidak bawa apa-apa? Arlen jadi tak enak hati.
Tapi mau putar balik pun ia sudah cukup jauh. Sepertinya ia akan berhenti untuk membeli sesuatu di jalan nanti. Ya, itu lebih baik.
Drrt... drrt...
Ponselnya bergetar, dia melihat nama pemanggilnya. Dirasa penting, ia menekan tombol hijau kemudian ia buat loudspeaker. Salah satu prinsipnya dalam mengendarai mobil adalah boleh menerima telepon asalkan ponselnya tidak dipegang.
"Jangan lama-lama di rumah Airis," ucap seseorang di seberang sana.
"Apaan, sih? Gue kira penting banget sampe lo nelpon. Emangnya kenapa kalo gue lama-lama? Iri, lo?" Arlen tersenyum sambil menaikturunkan alisnya, bermaksud menggoda orang di seberang sana. Meskipun ia tahu bahwa tingkahnya tidak terlihat oleh lawannya.
"Ck, pokoknya gue udah ingetin. Jean ambil penerbangan yang lebih awal. Lo tahu 'kan, gimana tingkah si Jean kalo yang jemput kurang lengkap?" Terdengar nada khawatir dari kalimatnya. "Atau nggak, lo balik aja dulu. Gue nggak mau kejadian pas di London keulang lagi."
"Dan, ya, satu lagi. Ada peringatan dari Papa, lo harus hati-hati, jangan main-main mulu, jangan—"
Arlen menulikan telinga. Dia menepikan mobil kemudian menekan tombol merah pada layar ponselnya. Dia menghela napas. Menerima peringatan seperti itu malah semakin membuatnya kelelahan.
Dia menenangkan diri sejenak, membiarkan lengannya menutupi kedua matanya. Dua menit menyelami alam pikir sudah cukup untuknya membuat keputusan.
Arlen yang masih di dalam mobil celingukan, baru sadar kalau mobilnya berhenti di pusat kota, tempat dimana kedai-kedai makanan dan minuman dibuka ketika menjelang malam.
Matanya sibuk meneliti jejeran toko, mencari-cari sesuatu yang bisa ia beli untuk Airis. Tak mau ambil pusing, ia membeli martabak telur, chocolate cookies, dan buah-buahan. Oke, sudah cukup buah tangan ini untuk dibawa ke rumah Airis. Arlen segera menempatkannya di kursi penumpang belakang kemudian segera melesat ke kediaman gadis yang sudah lama tidak ia jumpai.
Tidak butuh waktu lama baginya sampai di rumah bercat abu-abu muda bergaya minimalis itu. Arlen menenteng segala bawaannya dan meletakkannya di samping kaki ketika hendak menekan bel.
Dia melirik arloji dengan raut gelisah karena tak kunjung mendapat jawaban. Sekali lagi ia memencet bel dan untunglah derap kaki bisa ia dengar kemudian.
"Maaf, Mas-nya cari siapa?"
Arlen tersenyum hormat melihat wanita paruh baya yang baru saja membukakan pintu. "Airis, ada?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Fiksi RemajaPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...