Bab 18

108 6 1
                                    

Jangan sembunyikan apapun dariku. Aku tidak suka pembohong. Karena, setelah satu kebohongan akan ada dua, tiga, dan banyak kebohongan.

Gara-gara kejutan yang ia buat kemarin lusa, Leon terus marah padanya. Airis sudah berkali-kali minta maaf tapi cowok itu menjadi abai dan selalu mengalihkan pembicaraan. Sebelumnya, Leon memang cuek, tapi cueknya tidak sampai di tahap tidak membalas pesan. Pesan dari Airis yang berisikan permintaan maaf seolah tidak terlihat di mata Leon. Cowok itu bahkan baru membalas hari ini, setelah Airis kembali memberinya pesan.

"Cemberut terus dari tadi, udah kayak bebek itu bibir. Ada apa?"

Airis masih fokus pada ponselnya. Tidak sekalipun melirik Arlen yang tengah memangku tangan menatapnya lekat. Tangannya yang tidak sibuk mencari-cari keberadaan gelas besar berisikan jus alpukat miliknya. Arlen sedikit membantunya dengan mendorong gelas bening besar itu ke arah tangan gadis di depannya. Walau ia sedikit kesal sebab Airis mengabaikannya.

"Aku pulang, ya."

Airis melepaskan sedotan dari mulutnya. Dia mendongak kemudian mengerutkan kening sambil menggeleng. Baru sampai di sini masa mau langsung pulang. Arlen ada-ada saja, pikirnya.

Arlen menekuk bibir sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Lima kali. Sebalnya sudah memuncak melihat Airis terus sibuk dengan benda pipih yang diberi case warna navy polos itu. Dia segera merebut ponsel Airis lalu mengintip isinya.

Airis: Leon, maaf ya kejadian hari ini
Airis: Leon, maaf buat kejadian kemarin
Airis: Hampir tiga hari loh. Kamu belum maafin aku
Airis: Leon, aku nggak suka punya hubungan nggak baik sama orang lain. Aku nggak suka punya hater
Airis: Jawab dong. Aku jadi gak enak

Leon: Tau ah
Leon: Gue minta data anak jurnalistik plus anggota per divisi

Airis: Bukannya udah kukirim?
Airis: Maafin aku ya

Leon: Lo nggak nyantumin divisinya

Airis: Nanti aku bikin lagi terus kirim ke kamu
Airis: Maafin aku. Sekali lagi, aku nggak suka punya musuh

"Ngapain minta maaf ke singa ini?" Arlen menatap tidak suka pada Airis yang menunduk memainkan tas selempangnya. Jantungnya menggebu. Seakan ada parade tahunan di dalamnya. Tetapi Arlen langsung mengubah rautnya. Dia tidak mau dicap posesif padahal belum jadi pacar. Posesif sebelum jadi pacar, ah, Arlen tidak bisa membayangkannya. Kalau sudah jadi pacar, mungkin seekor serangga kecil pun tidak akan diizinkan menyentuh Airis. Oke, ini saatnya Arlen menghentikan bayangan tentang Airis jadi pacarnya. "Bodoh, bodoh, bodoh!" gumamnya sambil memukul kepalanya tanpa sepengetahuan Airis.

"Itu ... karena--"

"No, no," selanya sebelum Airis menyelesaikan kalimatnya. "Lupakan pertanyaanku yang tadi," lanjutnya. Dia segera mengambil gelas matcha latte yang tadi ia pesan kemudian menyeruputnya hingga tinggal setengah.

Namun gadis itu tetap merasa bersalah. Sudah keluar bersama di akhir pekannya tetapi malah bersikap abai terhadap Arlen. "Pas kamu tanding basket ... aku gelar kejutan buat Delya. Karena suatu alasan, Leon marah," ucapnya lirih.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang