Bab 13

149 16 33
                                    

Jangan berbohong, atau kamu akan menerima akibatnya. Apalagi tentang perasaan.

Senin pagi yang menyebalkan. Upacara bendera berlangsung lebih lama dari biasanya. Yang seharusnya hanya dua puluh menit menjadi empat puluh menit karena kedatangan seorang guest star, alumni Cendekia yang mendapat beasiswa penuh dari universitas terbagus.

Biasanya kalau ada guest star seperti ini, murid-murid akan dikumpulkan di aula. Tetapi, entah ada gerangan apa guest star-nya diberi wewenang untuk memberi amanat yang super panjang lebar dan memotivasi oleh Kepala Sekolah. Sayangnya, jatuhnya malah bukan memotivasi tetapi membuat para murid mengeluh kepanasan.

"Ris, kantin dulu, yuk," ajak Gina sambil merangkul tangan Airis. Keduanya berjalan beriringan sambil sesekali bercengkerama dengan topik random, seperti alasan kucing suaranya 'meaw', langit yang seolah tidak ada batasnya, dan kepala sekolah yang tidak memberi batasan untuk jumlah ekstrakurikuler yang akan diikuti muridnya.

Hingga tiba di kelas pun, topik ekstrakurikuler belum usai dibicarakannya.

"Kamu mah enak cuma ikut satu ekskul."

"Apanya? Jadi anak teater harus kuat hati, nggak boleh baperan pas peranin tokoh."

"Cuma gitu doang, kecil." Airis mengukur betapa mudahnya menjaga hati agar tidak baperan dalam penokohan dengan seujung jari kelingkingnya.

"Akh! Da-daku sakit, Ris," ucap Gina tiba-tiba dengan terbata. Dia memegangi dadanya yang sepertinya kesakitan. Matanya sesekali tertutup dan terbuka karena menahan sakit.

"Gi-Gina," ucap Airis pelan sambil menggenggam lengan sahabatnya. Matanya sudah berlinangan, dia tidak pernah melihat Gina kesakitan separah ini. Yang ia tahu hanyalah sekadar Gina pernah demam dan flu. Penyakit yang lain, sama sekali tidak tahu.

"Ah, gimana ini? Kamu sesak? Kamu punya asma? Aku nggak tahu soal beginian, kuantar ke UKS aja, ya?" Airis menarik lengan Gina. Air matanya sudah menetes, seolah ia lah yang tengah kesakitan.

"Pfft."

Gina tergelak sedangkan Airis sudah dibanjiri air mata. Gadis penyuka chocolate cookies itu memang lemah hati ketika melihat orang sakit. Tapi sahabatnya malah mempermainkan kelemahannya.

"Kamu bercanda, ya?"

Gina mengangkat sebelah alisnya kemudian bersedekap dada. "Udah tahu 'kan kehebatannya anak teater Cendekia?"

"Nggak lucu, ah!" ketus Airis yang kemudian memukul mejanya kuat-kuat. Tidak peduli dengan betapa sakit tangannya sekarang. Yang penting Gina tahu kalau Airis benar-benar khawatir tadi.

"Aku khawatir banget tapi ternyata kamu main-main. Padahal kamu tahu sendiri, aku bakalan sepanik apa tiap ada orang yang sakit. Aku nggak tegaan."

"Ris, Iris!"

Airis tidak menggubris panggilan dari Gilang. Mood-nya sedang tidak bagus gara-gara perkara dengan Gina. Bahkan sekarang mereka sedang tidak bersama. Lebih tepatnya, Airis sedang kabur dari sahabatnya. Alasannya simple, Airis ingin menyendiri dulu. Mendinginkan api yang sedang berkobar di kepalanya. Pikirnya, daripada ia berada di dekat Gina tapi marah-marah, lebih baik menjauh untuk beberapa waktu.

"Ris," ucap Gilang lebih pelan dari sebelumnya. Dia sudah berada di hadapan Airis yang tengah mengaduk-aduk mie ayamnya.

"Lo kenapa?"

Gilang menggeleng-geleng lalu menghela napas. Cukup dengan melihat tatapan Airis yang selalu ke bawah, ia tahu bahwa mood Airis sedang buruk. Dia kemudian menoleh pada seseorang di sampingnya.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang