Kata orang, kenangan baik harus diingat dan kenangan buruk harus dilupa. Padahal keduanya sangat penting untuk keseimbangan hidup. Menjadi satu banding nol, sama saja seperti kamu kehilangan jati diri.
⛅
"Kalian udah saling kenal?" Airis menatap Arlen dan Jean bergantian. Dia belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Padahal sudah ke sekian kalinya kalimat tanya itu terlontar dari mulutnya.
"Apa salahnya jawab iya atau nggak?"
Arlen geram. Kalau tidak lihat tempat, ia pasti akan menarik rambutnya karena frustasi. Yah, kalau tidak ada Airis juga. Sebuah rahasia yang sebenarnya ingin ia sembunyikan dari Airis telah mengambang di permukaan. Tinggal bagaimana keputusan akhirnya, akan membiarkannya berlalu tanpa memberitahu Airis atau menangkapnya dengan sepenuh hati. Atau, haruskah Arlen berbohong?
"Arlen?"
"Iya, aku sama Jean udah saling kenal."
Airis manggut-manggut. Tidak mau terkejut dengan jawaban yang Arlen berikan. Ingin bertanya lebih lanjut tapi siapalah dia. Mau mereka punya hubungan atau tidak, Airis tidak berhak untuk bertanya.
"Nggak mau tanya aku kenal Jean di mana, gitu?" Arlen meluruskan pandangan, pura-pura tidak menujukan kalimatnya pada Airis. Padahal sengaja ia lontarkan pertanyaan itu. Arlen pikir, ia sudah jatuh dalam lubang berlumpur, sekalian saja kotori tubuhnya. Toh, nanti akan mandi. Mandi dengan segala cara agar Airis tidak pergi darinya.
Airis menaikkan sebelah alisnya. "Pengen banget ditanyain?"
"Nggak."
"Ya, udah."
"Ya, udah."
"Ih, dasar tukang copy paste!"
"Terserah."
Jean menggeleng melihat dua manusia itu. Debat kecil mereka begitu lucu di matanya. Sepintas pertanyaan muncul di benaknya dan secara tidak sengaja terlontar melalui mulutnya. "Kalian pacaran?"
"Nggak!"
"Nggak."Jujur Jean tidak tahu-menahu mengenai kedekatan Airis dan Arlen. Apalagi kakak tirinya itu baru pindah hari ini, ke sekolah ini. Tapi melihat interaksi keduanya, membuatnya ingin segera menjadi mak comblang antara mereka. Gemas sekali!
Jean menarik lengan sang kakak agar mendekatkan telinga ke bibirnya. "Kakak nggak ada niatan jadiin Kak Airis pacar?" bisiknya sambil terkikik geli. Jean benar-benar antusias.
Arlen terkejut. Dia segera menjauhkan badan dari Jean. Saking kentaranya, Jean turut terkesiap. Jean jadi bingung, apakah pertanyaannya se-horor itu bagi Arlen?
"Kakak kenapa kaget aku tanya gitu?" tanya Jean, masih dengan suara kecil. Sesekali matanya melirik Airis yang main-main dengan kucing liar yang entah kenapa bisa ada di sekolah.
Cowok itu bergerak gelisah. Hati kecilnya ingin menjawab tapi seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya, ia tidak bisa ungkapkan itu. Untuk masalah ini, biarkan Arlen yang menanggungnya sendiri.
"Udah ah, aku mau pulang."
Mendengar kalimat yang Arlen lontarkan, Airis segera mendongak, berdiri kemudian menghadap Arlen. "Kamu jadi pulang bareng aku?"
Arlen mengangguk lalu membawa pergelangan tangan Airis untuk ia genggam. Membawa jauh dari tempat Jean.
Selama melangkahkan kaki, Airis tidak bisa berhenti melengkungkan bibir. Pun dengan jantungnya yang sudah tidak tentu iramanya. Semua itu karena Arlen. Ya, Arlen yang sedang menggenggam pergelangan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Fiksi RemajaPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...