Andai sedari awal ide ini tidak direalisasikan, mungkin tidak begini keadaannya. Iya, andai ....
⛅
Setelah mendengar keseluruhan cerita dari Arlen dan kembarannya, atmosfir di sudut cafe yang diisi lima orang itu tampak tidak baik.
Gina dan Jean sama-sama menundukkan kepala. Sedangkan si Kembar Raffa dan Daffa yang selama ini diketahui banyak orang sebagai Arlen saling menatap tidak suka. Gilang, orang yang paling waras di sini. Dia diam saja sambil mencoba memahami situasinya.
"Gue jadi bingung," kata Gilang tiba-tiba sambil mengacak rambut belakangnya. Dia menghela napas lelah kemudian menyandarkan punggungnya. "Sekarang, kita musti panggil lo berdua pake nama apa?"
"Panggil kayak biasa aja." Arlen menyahut kemudian menyesap cappuccino-nya.
Gilang menaikkan sebelah alisnya, "Dua-duanya kita panggil Arlen? Kalo misal kalian lagi berdua gini, apa nggak bingung?"
"Gue Arlen dan dia Raffa." Arlen menunjuk kembarannya yang sedang duduk tenang di sampingnya.
"Oke, oke. Jadi, biar gue simpulin dulu. Angkasa, temen masa kecil Airis, panggilannya sekarang Raffa. Arlen, yang selama ini nyamar jadi Angkasanya Airis itu kembarannya si Raffa. Gitu, kan?"
"Sip, cerdas juga lo." Kemudian Arlen mengacungkan jempol ke arah Gilang.
Lagi-lagi Gilang menghela napas. "Pusing gue. Untung nggak ada Kak Tian, bisa ngamuk karena bingung dia."
"Sorry, ya. Kalo kelakuan kita bikin kalian pusing." Raffa akhirnya mengangkat suara. Gilang memandanginya sampai-sampai dibuat menelan saliva kasar. Canggung banget dilihatin sampai segitunya.
Gilang sebenarnya masih tertegun. Kalau mereka mengenakan pakaian yang sama persis, mungkin Gilang akan kebingungan untuk mereka berdua.
"Kalo boleh tau, lo sakit apa sampe harus nyamar-nyamar gitu di depan Iris?"
Raffa menghela napas panjang, "Leukemia."
Gilang dan Gina terkejut dan menatap Raffa bersamaan.
"Lo--" Gilang ingin berucap tapi lidahnya kelu. Baru kali ini ia memiliki teman yang memiliki penyakit yang nyawa menjadi taruhannya. Agaknya ia merasa sedikit bersalah karena telah melontarkan pertanyaan tadi. Tapi, kalau tidak bertanya, ia tidak akan tahu apa-apa. Gilang bingung.
"Nggak pa-pa, jangan kasihani gue." Raffa tersenyum pedih.
"Kalian ... nggak mau nyamperin Airis?"
Raffa menghela napas kemudian menyandarkan punggungnya. "Gue ... nggak tahu. Airis nggak mau dengerin penjelasan gue. Dia mulai benci--"
"Nggak, kak Airis nggak benci Kak Daffa ataupun Kak Raffa. Tapi dia pengen nenangin diri dulu!" sela Jean dengan cepat. Sedari tadi ia diam saja karena merasa bersalah. Menurutnya, kejadian tadi adalah salahnya.
"Semua ini ... sebenarnya salahku." Lalu dia mengusap matanya yang kembali berair dan terisak, "Andai aja aku nggak ngomongin tentang itu di rumah sakit. Andai aku nggak maksa buat jenguk Kak Airis."
Gina langsung memeluk Jean, mencoba memberi ketenangan pada adik kelasnya itu. Tidak ada yang harus disalahkan di sini.
"Nggak pa-pa. Toh, semuanya bakal ketahuan dengan sendirinya, kan? Apalagi Airis udah mulai curiga sebelumnya." Arlen melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggungnya.
"Selama ini, siapa yang sering keluar?"
"Gue, sih," jawab Raffa.
"Gue masih belum bisa berhenti buat heran. Kenapa selama ini kalian, terutama Arlen bisa berpura jadi sosok yang sama, yaitu Raffa. Bahkan Airis yang udah kenal sama Raffa sekalipun bisa tertipu." Keningnya mengerut. Semakin lama semakin dalam. "Kalo masalah karakter, tiap orang pasti beda sekalipun kembar, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Teen FictionPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...