Bab 22

89 6 0
                                    

Kamu tidak berhak atas semua usaha yang sudah saya lakukan. Kamu hanya orang asing.

Pukul setengah enam pagi, Arlen, Gina, Gilang, dan Tian sudah berdiri di depan perusahaan berlantai sepuluh itu. Mereka memang membuat rencana tanpa sepengetahuan Dika dan Juna. Mereka membulatkan keputusan, apapun yang terjadi mereka akan turut serta dalam misi penyelamatan Airis. Walau sebenarnya mereka tidak tahu, apakah Ayah Airis masih berada dalam kantor atau tidak.

Mereka juga merelakan bolos dari sekolah karena khawatir dengan keadaan Airis.

"Nak, di sini bukan tempat bermain. Kemarin, saya beri izin masuk karena kalian bilang hanya untuk satu kali saja." Tetapi seorang satpan di depan perusahaan game itu melarang mereka untuk masuk.

"Saya kenal dengan Om Dika," kata Arlen sambil mengangkat tangan.

"Maaf, Nak. Tidak untuk kali ini." Satpam bernama Anton itu kemudian melangkahkan kaki. Rupanya untuk membuka jalan untuk mobil silver yang hendak keluar.

Arlen dan lainnya heran. Siapa orang yang baru keluar dari gedung di jam segini? Mau dibilang itu adalah orang yang habis kerja lembur pun sepertinya tidak mungkin. Memangnya ada orang yang rela lembur sampai pagi?

"Loh? Arlen--" Jendela mobil semakin turun, menampakkan wajah Dika yang tampak lesu. Pria paruh baya yang hanya tidur satu jam itu tetap tidak terlihat baik bahkan setelah mandi. "Kalian ngapain disini?" sambungnya.

"Om mau ke tempat Airis, kan? Kami mau ikut," sahut Gilang yang kemudian diiringi anggukan teman-temannya.

Dika menimang tetapi akhirnya ia mengiyakan. Walau sempat ragu karena kemungkinan akan terjadi hal tidak diinginkan jika banyak orang yang ikut, ada baiknya juga bila beramai-ramai.

"Inget pesen Om, karena Gina cewek sendiri, kamu tunggu di dalem mobil aja. Mobilnya kunci dari dalam. Atau kalau perlu, salah satu cowok temani Gina di sini."

Dika berpikir lagi. Ada yang salah pada ucapannya tadi. "Tapi, kalau cuma berduaan sama cowok, bahaya juga."

"Saya aja yang disini, Om. Bareng Gina. Saya nggak bakal ngapa-ngapain juga." Tian memberi usul. Walau hanya berperan sebagai penjaga di dalam mobil, baginya cukup demi kelancaran penyelamatan Airis nantinya.

Dika hendak kembali berbicara, tetapi ponselnya berdering cukup kencang. Atensi semua orang mendadak teralihkan setelah pria itu menyampaikan bahwa tulisan unknown number sebagai pemanggilnya.

"Halo, Dika Nanjaya." Penelpon di seberang sana tertawa keras.

Pria paruh baya itu terkejut. Suaranya terdengar familiar tapi Dika lupa dengan siapa ia kini berbicara. "Maaf, Anda siapa?"

"Tidak anak, tidak ayah, sama-sama lupa padaku."

Otak Dika bekerja keras mencoba mengingat-ingat suara itu, "Hendra Wandana?"

"Ingatanmu masih kuat, rupanya. Saya hanya menggertak sedikit, kamu langsung ingat." Pria yang disebut Hendra itu terkekeh.

"Kau baru saja mengatakan tentang anak, apakah itu anakku? Kau yang menculiknya?" Dika mulai tidak sabar.

Pria di seberang sana terbahak mendengarnya. Dari dulu, apa yang ditebak Dika selalu benar. Tidak pernah meleset. "Penculik? Oke kalau kamu menyebutnya seperti itu. Apakah kamu tidak pernah menyangka hal ini? Bahkan, apakah kamu tidak tahu dengan siapa istrimu pergi? Ck, rupanya saya lebih cerdik."

Dika mengerang frustasi. Dia melempar ponselnya ke dasbor saking marahnya pada sosok yang dulunya sahabat karibnya ini. Entah apa yang membuatnya berubah menjadi jahay, Dika tidak pernah tahu dengan pasti. Selama ini ia hanya menduga-duga tentang apa yang terjadi pada Hendra.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang