Bab 3

413 51 70
                                    

Katamu dulu, aku tidak boleh menangis.
Tidak ada yang boleh membuatku bersedih.
Tapi bagaimana jika kesedihanku berasal darimu? Bolehkah aku menangis?


Airis memandangi beberapa surat di meja belajarnya. Kata Dika, surat itu ditujukan padanya.

Sebuah kotak dibungkus kertas kado bermotif kepala beruang coklat—sangat sesuai dengan kesukaan Airis—yang berada di samping kakinya datang bersamaan dengan surat-surat itu.

Pengirim bernama Arlenio itu meletakkan setangkai bunga mawar putih, boneka kucing dan kura-kura serta gantungan kunci berbentuk jerapah di dalamnya. Ada sebuah note pada tangkai bunganya, isinya: Jangan bersedih, Rose. Aku akan segera datang. You're My Sunshine. Hehe

Airis mengernyit, sebuah praduga tidak diinginkan melintas di otaknya. Prasangka yang membuatnya kembali berharap hingga tanpa sadar air matanya telah menggenang.

Dia menepisnya dengan ibu jari. Tak mau terlalu larut dengan yang namanya harapan. Ia beralih membuka surat yang bertuliskan nomor satu.

Iya, ini aku Angkasa, Sunshine.

Kalimat itu mampu membuat air mata Airis tumpah. Angkasa. Angkasanya yang mengirimkan ini.

Raya, panggilanku untukmu. Yah, meskipun masih banyak lagi panggilanku untukmu. Aku suka itu. Aku juga suka senyummu.
Happy birthday for you, my little cat. Sweet seventeen for you.
Maaf, aku nggak bisa datang. Tiba-tiba ada urusan mendadak, hehe. Sekali lagi maaf.
Kumohon jangan bersedih karena aku nggak datang. Aku nggak bisa lihat kamu sedih.
Ayo senyum, senyum. Satu, dua, tiga, yak! Airis tersenyum. Hehe

Airis tidak mampu menahan bibirnya agar tidak membentuk lengkungan bulan sabit. Walau sekadar surat, apapun yang ia dapatkan dari Angkasa, sudah dipastikan memiliki pengaruh besar baginya.

Ditambah satu informasi penting tentang Angkasa, yaitu nama. Selama ini Airis tidak pernah tahu nama Angkasa yang sebenarnya dan sekarang ia tahu. Arlenio.

Dia membuka surat bernomor dua.

Kalau sudah, tolong kirim e-mail padaku. Untukmu, pukul delapan malam ke atas, akan kutunggu. Kalau kamu tidak bisa, yah, setidaknya kabari aku...

Airis mengerjap, membolak-balik selembar kertas berukuran A4 itu.

"Hanya ini?" gumamnya sembari menggaruk dagunya yang tidak gatal. Angkasa boros kertas. Menuliskan beberapa kalimat di lembaran yang baru. "Kenapa tidak digabung saja?" pikir Airis heran.

Dia beralih pada surat selanjutnya. Ukurannya tidak sebesar kertas sebelumnya. Hanya setengahnya.

Tenang saja. Aku tidak akan pernah lupa padamu.

Airis lega sekaligus menyesal sudah membuang-buang air mata gara-gara beranggapan bahwa Angkasa sudah melupakannya.

Raya, Rose, Sunshine, Little Cat, Bear, Turtle. Oh! Aku lupa untuk membeli chocolate cookies untukmu.

Uh, banyak sekali nama panggilan dari Angkasa untuknya. Tapi Airis paling suka dengan tiga sebutan pertama yang Angkasa tuliskan. Raya adalah nama depannya. Rose, ia suka mawar putih. Sunshine, Angkasa bilang Airis adalah mataharinya. Padahal, seharusnya Airis lah yang menganggap Angkasa sebagai matahari. Sebab kalau bukan karenanya, Airis tidak berada di tempat ini.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang