Bab 25

103 8 0
                                    

Ketika kata dari diri sulit diucapkan. Hanya air mata yang dapat mewakilinya.

Sudah tiga hari sejak Airis dirawat di rumah sakit. Hari ini, gadis itu diperbolehkan pulang. Tapi anehnya, sang ayah tidak mengunjunginya sama sekali. Yang bergantian berjaga pun hanya Arlen, Gina, Tian, Gilang, dan Juna. Beberapa sanak famili Airis juga datang untuk membesuk putri dari sosok laki-laki yang menjadi pelindung mereka. Begitupun dengan Jean yang kemarin memaksa pada Arlen untuk ikut.

"Ayah nggak datang?" tanya Airis sambil menatap Gina dengan sorot sendunya. Gina tidak sanggup jika harus memandang wajah Airis. Dia selalu saja berkaca-kaca ketika berinteraksi dengan sang sahabat.

"Arlen," panggil Gina setelah membuang muka agar tidak melihat Airis lagi. Rasanya air matanya akan segera meluncur. Bahkan di hari-hari kemarin ia selalu menyediakan tisu untuknya sendiri.

Namun lelaki yang dipanggilnya tidak merespon. Akhirnya ia kembali bersuara, "Arlen, Airis ini loh."

Arlen yang sedang duduk di sofa masih belum merespon. Pandangannya kosong, seperti Airis beberapa hari terakhir. Gina dan yang lain jadi bertanya-tanya, "Apakah batin Arlen dan Airis saling terhubung sehingga bisa merasakan emosi masing-masing?"

"Len, jangan jadi bego di saat Airis butuh lo, plis," sarkas Tian yang kemudian dihadiahi senggolan kecil di lengannya. Gilang tahu bahwa Tian tidak bermaksud buruk. Tian hanya tidak ingin keadaan semakin memburuk dengan Arlen yang sepertinya juga sedang memiliki masalah.

"Gue nggak dibutuhin, asal lo tau."

Atensi Tian dan Gilang terhisap ke kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Arlen. "Maksud lo apa?" tanya Gilang sambil melipat tangan di bawah dada. Dia duduk di brankar yang sudah rapi--yang tadinya menjadi tempat tidur Airis. Dia sudah pasang telinga untuk mendengarkan penjelasan Arlen.

Arlen mendongak kemudian membuang muka dan berdiri untuk menghampiri Airis. Sebelum itu, Gilang menghalanginya. Gilang menarik lengan Arlen agar cowok itu menghadapnya dan memberi penjelasan lebih tentang ucapannya tadi.

Namun Arlen mendecih dan segera menepis tangan Gilang. Dia melanjutkan langkahnya, menghiraukan Arlen yang terus menggerutu seperti gadis yang sedang sebal.

"Ris." Arlen mengulurkan tangannya hendak membantu gadis

"Jangan deket-deket aku dulu, plis," tutur Airis membuat tiga pasang mata para temannya membulat secara serentak. Tidak seperti biasanya.

"Ada apa sih sama kalian?" tanya Gina sambil memperhatikan Arlen dan Airis bergantian. Air matanya mendadak surut ketika Airis berucap.

"Kalian ada masalah? Masalah apa? Coba omongin baik-baik." Kali ini giliran Tian yang bertanya. Cowok sipit itu tidak mau merasa sia-sia karena melepas Airis untuk Arlen yang nyatanya membuat gadis itu sedih.

Gilang menarik napas dan membuangnya perlahan. "Apa yang terjadi kemarin? Kemarin lo yang jaga Airis, kan? Sendirian juga, pasti kejadiannya kemarin. Ayo cerita, mumpung Kak Juna belum datang buat jemput."

Lelaki yang dimintai penjelasan tidak memberi respon. Dia hanya sesekali menghela napas dan mengusap rambut belakangnya gusar.

"Arlen!" sentak Gilang, kesabarannya hampir menghilang namun ia berusaha agar tetap mengontrol emosinya.

Suara beratnya menguasai ruangan. Tidak ada yang berani bersuara sedikitpun. Tetapi tak membuat cowok berhoodie biru itu gentar. Arlen malah mengeratkan genggamannya yang ia letakkan di saku hoodienya.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang