Kamu tak lagi menebar senyuman. Hal itu bisa kamu hentikan. Silakan, senyummu kamu hadirkan. Setiap kali aku membutuhkan. Kamu, jangan pergi meninggalkan. Aku tak kuasa melepaskan.
Kamu si jerapah tukang makan. Aku si kura-kura sudah maafkan. Kembalikan kebahagiaan. Hempaskan kepedihan.
⛅
Airis kembali dengan wajah murung. Tak ada senyum merekah yang sering ia tunjukkan pada anak-anak di kawasan rumahnya. Anak-anak yang biasanya suka meneriakkan namanya kini hanya memandangnya dalam diam. Mereka takut mood Airis semakin buruk.
Hingga tiba di depan rumahnya pun ia masih murung.
"Riris pulang," ujarnya begitu masuk ke rumahnya yang sudah dipastikan tidak ada orang. Tadi ia mendapat pesan bahwa Nana, asisten rumah tangganya, sedang ke minimarket. Ayahnya tengah berada di perjalanan menuju kantor karena ada urusan mendadak. Sedangkan ibunya, Airis tidak tahu di mana keberadaan Risa, sang mama, sejak usianya menginjak 5 tahun.
"Mama, Riris kangen." Airis menatap pigura berisi foto keluarga kecilnya. Foto ayahnya-Dika, Risa, dan dirinya yang diambil di sebuah taman bermain. Kebahagian yang sempurna seolah terlukis jelas dari senyuman ketiganya.
"Mama dimana?"
"Kenapa Mama ninggalin Riris? Kenapa Angkasa juga ninggalin Riris? Kenapa semuanya begitu ingin meninggalkan Riris?"
Isaknya semakin terdengar jelas ketika mengingat janji yang ia buat bersama Angkasa tujuh tahun silam. Kejadian itu masih terputar jelas di memori otaknya.
Ia mengucek matanya. Merutuki diri, tidak seharusnya ia terlalu berharap pada Angkasa. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar, mungkin dia telah lupa dengan keberadaan Airis.
Tapi tidak bisa dipungkiri, Airis rindu pada Angkasanya.
⛅
"Iris, bangun," kata Dika sambil membuka pintu kamar putri tercintanya. Pria paruh baya itu menggeleng saat merasakan dinginnya udara di dalam sini. Airis lupa mengunci jendelanya.
"Iris," katanya lagi sambil membuka selimut yang membungkus tubuh Airis.
Airis membuka mata sedikit demi sedikit, menetralkan cahaya yang masuk ke retinanya. Matanya sedikit sembab akibat keterusan menangis hingga tidak sengaja ketiduran.
"Habis nangis?" tanya Dika penuh selidik. Sebagai seorang ayah, ia tahu kebiasaan Airis yang menangis diam-diam. Entah itu karena rindu dengan sang mama atau yang lainnya.
Airis menarik bibirnya membentuk lengkungan bulan sabit kemudian menutupi wajahnya dengan selimut. Dika turut tersenyum lalu berkata, "Kali ini masalah apa?"
Dika masih ingat dengan cerita beberapa hari lalu yang berhasil membuat Airis menangis.
"Iris kenapa?" tanya Dika sambil mengelus puncak kepala putrinya.
Airis duduk memeluk lutut. Mata dan hidungnya memerah tanda ia sudah cukup lama menangis. Ia kemudian menatap sang ayah dan tangisnya semakin pecah di pelukan Dika.
"Riris masih keinget film horor yang Riris tonton. Riris takut," balasnya dengan suara parau khas orang habis menangis.
Dika tersenyum kemudian mengelus puncak kepala putrinya. "Makanya, kalau nggak suka film horor, jangan ditonton."
"Riris nggak pa-pa." Airis hanya memperlihatkan matanya, tubuhnya masih terbalut selimut.
"Mau main rahasia-rahasiaan sama Ayah?" Dika tersenyum geli. Airis tidak pernah menutup-nutupi apa yang sedang ada di pikirannya pada Dika. Hampir semua Airis ceritakan. Tapi kali ini Airis berlaku sebaliknya. Dika jadi curiga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Novela JuvenilPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...