Bab 26

111 6 0
                                    

Selamat, kebohongan yang kamu mulai sudah membuahkan hasil.

Kejadian yang tidak terduga itu terjadi ketika Arlen bertugas menemani Airis di hari terakhir sebelum keesokannya gadis itu diperbolehkan pulang. Paginya, Juna yang menemaninya karena teman-teman Airis harus sekolah. Sepulang sekolah, keempatnya mengunjungi Airis. Mereka masih tenang. Walau Airis masih sering termenung, keadaan gadis itu sudah lebih baik dari hari sebelumnya.

Setelah kepulangan teman-temannya yang lain, Arlen mendapat telepon dari Jean. Adiknya itu ingin membesuk Airis, katanya. Arlen awalnya menolak karena malas bolak-balik rumah dan rumah sakit.

Ponselnya kembali berdering dengan nama Ceker Ayam sebagai penelepon. Arlen mengangkatnya tanpa keluar dari ruangan. Toh, Airis sedang tidur, pikirnya.

"Gue mau kesitu," kata orang di seberang sana. "Gue udah di depan resepsionisnya," sambungnya membuat Arlen membelalak kemudian meraih hoodie birunya di atas sofa dan keluar tanpa bicara apa-apa pada Airis. Arlen hanya sibuk berbicara pada orang di seberang sana.

Tanpa Arlen tahu bahwa Airis tidak tidur. Dia mendengar ucapan Arlen sebelum cowok itu menghilang dari pandangnya.

"Lo gila, ya? Kalo ketahuan gimana? Lo mau rencana yang udah lo buat itu berantakan? Airis bukan anak kecil, Bodoh! Bahkan dia kayaknya udah sedikit sadar kalo ada perbedaan sama Angkasanya yang dulu sama yang sekarang." Begitu yang Airis dengar. Gadis itu tidak paham tetapi merasa ada hal penting yang harus ia ketahui.

Karena penasaran, dia berniat untuk mengikuti Arlen meskipun sudah dipastikan ia tidak akan sempat karena langkah Arlen yang lebar. Tetapi ia tidak menyerah, Airis melepas selang infus dari tangannya. Tidak mau ribet dengan selang itu.

Airis menunggu lift di depannya terbuka dengan perasaan was-was. Sesekali ia melamun dan ditegur beberapa orang di sana. Tetapi ia sudah membulatkan tekad. Apapun yang terjadi, apapun kenyataan yang akan dia dengar atau lihat nanti, Airis harus tahu secepatnya.

Pintu lift terbuka, dia segera masuk dan memencet tombol satu. Airis yakin bahwa Arlen pasti ke lantai bawah. Airis juga yakin, Arlen menemui seseorang yang Airis tak bisa pastikan siapa.

Gadis itu mulai kebingungan. Dia terus berjalan sampai ke depan gedung rumah sakit. Tidak punya arah, Airis menghela napas. Merutuki diri sendiri, "Apa yang mau kamu lakuin, sih? Bodoh kamu, ya?"

Langkahnya kembali memasuki rumah sakit. Kepalanya menunduk karena dirasa pusing. Airis tidak tahu harus apa lagi untuk mengetahui makna dari ucapan Arlen tadi.

Seorang resepsionis wanita yang sedari tadi memperhatikannya bertanya padanya setelah Airis cukup dekat dengan meja resepsionis. "Dek, kamu cari apa atau siapa? Saya lihat kamu kebingungan." Resepsionis ramah itu tampak kasihan pada Airis.

Airis mendongak, menatap resepsionis itu intens. "Mbak lihat orang nggak?"

Resepsionis itu tercenung. Ingin menjawab, "Ya, dari tadi saya lihat orang, Dek."

Mengerti ada yang salah dengan kalimatnya, Airis segera menggeleng. "Maksud saya, cowok punya lesung pipi. Tadi bawa-bawa hoodie biru, dia pake kaos warna putih. Rambutnya agak berantakan."

Airis tidak tahu harus menggambarkan Arlen seperti apa lagi. Dia sendiri pun bingung. Namun, dari raut resepsionisnya, sepertinya ia tahu sesuatu.

"Ohiya, tingginya sekitar segini," imbuh Airis sambil memposisikan tangannya di atas kepala, menunjukkan tinggi Airis menurut perkiraannya.

"Kayaknya tadi ada, deh. Cowok punya lesung pipi, terus tingginya sama yang kayak kamu kasih tahu. Tapi dia nggak bawa-bawa hoodie biru. Cowok itu pake kemeja kotak-kotak biru, agak pucet juga mukanya."

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang