Semua tentangnya ingin ku lupakan. Tapi apa daya, hatiku tidak rela. Hatiku diresahkan.
⛅
Koridor kelas sebelas tampak lengang sejak bel tiga kali—tanda masuk setelah istirahat—dibunyikan. Hampir seluruh murid sudah menduduki tempatnya masing-masing dalam kelas. Tak terkecuali dengan Airis. Namun anehnya, Gina tidak di sampingnya sejak kejadian sahabatnya itu pura-pura sakit.
Gina sendiri tidak bermaksud menghindar. Hanya saja, dia tahu sifat Airis. Gina hanya ingin Airis mendapat ruangnya sendiri untuk menetralkan suasana hati.
"Hai, Kak," ucapnya pada seseorang yang sedang duduk di depan kelas 10A4, kelas yang paling dekat dengan kantin.
Gina baru saja keluar dari kantin. Setelah kebetulan melihat keberadaan Tian, entah mengapa dirinya sedikit tertarik untuk menghampiri cowok itu. Padahal sebelumnya ia sangat tidak suka pada Tian karena hanya kakak kelasnya itulah yang menyebalkan sekaligus menjadi kompor pada taruhan ketika masa-masa SMP.
"Tumben nyapa gue duluan. Ngapain disini? Mau belajar nakal, lo?" tanyanya sedikit heran dengan Gina. Tidak seperti biasanya. "Atau jangan-jangan lo nguntit gue dari tadi?"
Gina memutar bola mata jengah. "Pilihanku buat duduk disini salah nggak, sih?" batinnya sedikit menyesal. Dia sedikit lupa tentang bagaimana sikap Tian karena sudah cukup lama tidak berjumpa walaupun satu sekolah.
"Heh, kalo orang tanya, ya jawab. Jangan diem aja." Tian berucap tegas. Sudah cukup sebal dengan Gina yang sejak dulu suka tidak menjawab pertanyaannya. Biasanya sih, kalau ditanya ini Gina sukanya menjawab itu. Selalu melenceng dari pertanyaan awal.
"Mau tahu sesuatu, nggak?"
Nah, kan. Apa yang Tian katakan benar. Bagi Gina sendiri, pertanyaan yang Tian lontarkan seringkali tidak berbobot dan terkadang berupa pertanyaan retoris. Kalau nggak tanya tentang Airis, ya, menuduh Gina masih ada rasa padanya.
"Lo, ya! Jawab pertanyaan gue dulu, gih. Baru gue jawab pertanyaan dari lo."
Gina menoleh cepat. Matanya tidak sengaja bertemu dengan manik hitam milik Tian. Namun secepat mungkin ia alihkan pandangan.
Dia berdecih kemudian berujar pelan, "Yes, that's it annoying!"
"Apa? Lo ngomong sesuatu?"
"Nggak, kok. Kakak aja yang salah denger."
Tian menggaruk pipinya yang tidak gatal sama sekali. Dia merasakan atmosfer di sekitarnya tidak nyaman. Pasalnya, mereka canggung sekali, seolah baru kali pertama bertemu dan berkenalan.
"Gin, lo masih ada rasa sama gue?"
Lagi-lagi Gina menoleh dengan cepat ke arah si pelontar pertanyaan. Kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia enggan menjawab. Raut wajahnya berubah dan detak jantungnya semakin cepat. "Sejak kapan jadi begini?" tanyanya dalam hati. Gina ingin berteriak sekarang juga.
"Udah gue duga. Sejak awal lo nggak komunikasi sama gue, pasti gara-gara ini, kan?"
No, no. Kenapa pembicaraannya sampai ke masalah itu? Gina tidak suka. Gina ingin beranjak sekarang juga. Tetapi, seolah ada lem kuat yang menahannya untuk pergi, ia tetap duduk tenang.
"Sssh." Gina mendesis sebal. Salahkan hatinya yang kesulitan move on sekaligus tidak bisa memaafkan kejadian dulu yang sialnya menimpa dirinya.
"Gin," panggil Tian dengan suara pelan.
Situasi seperti wekarang ini membuat Gina heran. "Kenapa kakak nggak kayak biasanya?"
"Emang biasanya gue gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Roman pour AdolescentsPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...