Jika ada pilihan, aku ingin kamu tetap di sini. Tapi sayangnya opsi semacam itu tidak pernah ada. Aku tidak dibiarkan memilih karena Dia yang berkuasa atas kamu, bukan aku.
***
Ruangan bercat putih itu senyap. Daffa sedang keluar entah ke mana. Gina sedang menyalin PR kimia dari buku Airis dengan earphone di masing-masing telinganya. Sedangkan Airis sendiri hanya diam saja di samping brankar Raffa yang sedang memejamkan mata. Raffa kembali tertidur sejak satu jam.
Tangan gadis bersurai lurus itu digenggam oleh Raffa semenjak lelaki itu menutup mata. Tidak lepas sekalipun walau kesadarannya sudah direnggut alam mimpi.
Kantuk juga mulai menyerang kesadaran Airis. Terlihat bagaimana kepalanya sering menunduk tanpa sadar lalu mendongak secara tiba-tiba.
"Ris, kamu ngantuk? Coba tidur sini aja," usul Gina sambil menepuk-nepuk sofa di sampingnya. Airis menggeleng kemudian melirik ke arah tangannya yang sedang Raffa genggam.
"Si Raffa mah, nyari kesempatan dalam kesempitan," cibir Gina dengan bibirnya yang sudah menekuk membuat sang sahabat terkekeh pelan. "Kamu tarik aja tanganmu, apa susahnya?"
"Kasihan, takut nanti Raffa kebangun. Aku tidur telungkup di sini aja kali, ya?"
"Terserah, tapi jangan salahin aku kalo punggungmu besok sakit."
Airis tersenyum, lantas benar-benar menelungkupkan kepala dengan bertumpu pada lengan kirinya. Dia bergerak beberapa kali untuk mempernyaman posisi. Setelah dirasa pas, barulah ia memejamkan mata.
Baru beberapa menit matanya tertutup, suara pintu terbuka mengusiknya. Memang tidak berisik, tapi cukup untuk membuat Airis menarik kesadarannnya kembali.
Airis mengucek mata kanannya, sesekali menguap yang kemudian ditutup oleh tangan kanannya. Mata berair gadis itu menatap penuh tanya pada kedatangan Daffa. Terlebih lagi setelah melihat tentengan plastik di tangan kanan cowok itu.
"Nih, martabak manis. Lo pada belum makan, kan?"
"Daffa ngerti banget, sih?" Gina melepas earphone dan meninggalkan tugasnya. Dia segera membuka bungkusan yang Raffa letakkan di dekatnya.
Melihat isinya, lantas membuat Gina mendecih pelan, "Kentara banget niatnya mau beliin siapa."
Pasalnya dua kotak martabak manis itu hanya ada rasa coklat, persis seperti kesukaan Airis. Kenapa tidak diberi rasa berbeda saja? Gina sebal dengan laki-laki itu, bau-bau bucin.
"Temen lo tuh, kok nggak ke sini? Malah tetep duduk manis."
"Masih perang batin."
Daffa mengernyit bingung. Dia menatap punggung Airis dengan seksama. "Ris, sini makan. Entar lo sakit kan jadi berabe urusannya."
Airis mengangguk beberapa kali walau sebenarnya ia tidak berniat untuk berpindah posisi. Kemudian ia menunduk, menatap tangannya yang Raffa genggam. Tangan Raffa semakin lama menjadi semakin dingin.
"Kamu kedinginan?" bisiknya agar tidak terdengar oleh dua manusia yang tengah melahap martabak di belakangnya. Airis kemudian menaikkan selimut yang Raffa, beharap agar laki-laki di depannya tidak kedinginan lagi.
Dia mengernyit ketika dirasa genggaman itu melonggar dan berakhir terlepas. Airis bingung, bukankan sedari tadi genggaman itu tidak pernah lepas? Melonggar sudah dipastikan ada sedari tadi, tapi tidak pernah sampai ditahap lepas. Raffa selalu menarik kembali tangan Airis agar berada di genggamannya.
Netra gadis itu menatap tangan Raffa, terlihat terkulai lemas. Pikiran Airis sudah melayang kemana-mana tapi ia selalu berusaha menepisnya. Airis memukul-mukul kepalanya beberapa kali, tidak mau berpikiran buruk tentang ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/202680437-288-k498251.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa dan Raya✔
Teen FictionPada hari di mana seharusnya Airis berjumpa dengan Angkasa, ia malah mendapatkan beberapa kiriman berupa surat dan kotak kado. Angkasa mengingkari janjinya. Namun beberapa hari setelahnya, Angkasa datang padanya. Ada yang sedikit berbeda dengan Angk...