Bab 11

195 18 49
                                    

Maaf, ekspektasi kalian terlalu jauh. Bahkan bisa menembus bumi. Awas pusing kebanyakan halu.


Suasana kantin sangat ramai, terutama di bangku sudut ruangan. Enam orang sedang di sana. Ada Airis yang kembali sekolah setelah dua hari tidak masuk karena sakit (sebenarnya karena tidak diperbolehkan oleh ayahnya). Gina yang memang selalu bersama dengan Airis. Tian yang menjadikan gombal pada Airis sebagai keseharian. Delya dan Kinan, adik kelas yang cukup dekat dengan Airis lewat ekskul.

Dan terakhir, Gilang yang tidak menemukan alasan mengapa dirinya berada dalam lingkaran orang-orang suka bergosip ini. Sepertinya Gilang jadi dekat dan menyandang status 'teman Airis yang sebenarnya' sejak menjumpai gadis itu di taman dan jalan bareng di Fairy Land.

"Di grup kelas, cewek-ceweknya pada ngomongin murid baru. Emang beneran beritanya?" tanya Kinan memulai topik yang sedang hangat di kalangan murid perempuan SMA Cendekia.

"Katanya sih, iya. Ternyata beritanya udah sampe ke adek kelas," balas Gina setelah menyesap teh tawar hangatnya. Dia terkekeh kecil membayangkan berita seperti itu sudah tersebar luas. Ia yakin bahwa asal muasal gosip ini adalah lambe turahnya Cendekia, si cantik Luna anaknya wakil kepala sekolah. Dasar, nggak bisa jaga rahasia!

"Loh? Murid barunya belum datang? Padahal aku udah bahas itu beberapa hari yang lalu bareng Gina," timpal Airis sedikit bingung. Dia kira, murid barunya sudah masuk di saat ia absen.

"Kata Gina murid barunya kelas sebelas, iya 'kan?" tanya Airis dan Gina hanya membalas dengan anggukan setuju. Mendengar hal itu, membuat raut kecewa Kinan tercipta. Melihatnya, membuat kening Airis mengernyit heran. "Kenapa, Ki?"

"Yah, aku ngiranya kelas sepuluh. Kali aja cowok ganteng plus tajir, 'kan bisa digebet."

"Kelas sebelas juga palingan tetep kamu gebet, Ki," sahut Delya sedikit kesal. Kinan itu hobinya mendekati cowok ganteng, suka kasih harapan palsu. Delya tidak habis pikir, begitu beraninya teman akrabnya ini.

"Tau aja, sih. Tapi lebih mudah yang sama-sama kelas sepuluh," ucap Kinan yang diselingi kekehan pelan.

Sebenarnya Kinan mendekati beberapa orang saja. Kalau dihitung hanya tiga orang dan semuanya ganteng-ganteng. Atlet sekolah pula.

Jangan bertanya mengapa Kinan berbuat seperti itu. Karena kata orang, dibalik perbuatan pasti ada alasannya.

"Mending lo buang kebiasaan lo itu. Nggak baik buat lo, kalo sampe ketahuan sama satu sekolah—" Gilang menjeda sejenak. "You're gonna get killed."

Kinan tertawa keras. Kalau saja Delya tidak menegur, seluruh pasang mata di kantin ini pasti akan mengalihkan atensi menuju sekelompok orang ini. Kinan suka kebablasan, emang.

"Ya udah, Kakak aja yang jadi pelampiasanku," ucapnya sambil mengerlingkan mata genit pada Gilang. Yang digoda malah merinding ngeri. Lebih ngeri ketika melihat hantu bermata putih.

Tian yang sedari tadi hanya diam langsung tertawa keras menggantikan suasana horor yang Gilang rasakan. "Mampus lo," katanya.

"Lo yang mampus nggak pernah dilirik Iris."

"Apaan, jangan bawa-bawa nama Airis!"

"Gue bilang Iris, bukan nama yang lo sebut tadi." Gilang tak mau kalah walaupun ia tahu bahwa tidak sopan melawan orang yang lebih tua.

"Sama aja! Iris itu 'kan panggilannya Airis."

Keduanya saling melempar tatapan melotot. Airis jadi bingung, kalau namanya sudah disebut-sebutkan begini, pasti akan terjadi perang dingin antara Gilang dan Tian. Sama seperti dulu, sebelum Airis dekat dengan Gilang, lebih tepatnya pada pertama kalinya ia tahu bahwa siswa hiperaktif di jurnalistik divisi writer bernama Gilang.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang