Bab 19

101 6 0
                                        

Aku tidak ingin kecewa, tetapi sikapmu memaksaku untuk kecewa.

Kakinya bergelantungan dan dibiarkan bergerak seirama dengan lantunan nada yang keluar dari mulutnya. Gadis kelahiran bulan Desember itu duduk di atas kursi kayu di depan sebuah mal. Di sekitarnya tidak ada seorangpun yang ia kenal. Dia sedang menunggu kedatangan cowok bermotor matic dari tempat parkir.

"Iya, nanti ... kakak ...."

Airis tertoleh. Dia mendengar suara Arlen walau samar. Beberapa kali, kata Kakak terlontar dari mulutnya. Ia lihat, Arlen sedang bertelepon dan handphone-nya diletakkan di antara helm dan telinganya.

Arlen semakin mendekat dan sambungan telepon sudah ia putuskan. Dia memberikan helm untuk Airis pakai tetapi gadis itu bergeming.

"Kamu punya Kakak?"

Arlen menggaruk tengkuk. Bibirnya terkatup dan terbuka secara bergantian. Dia ragu. Satu kata yang akan ia lontarkan, bisa saja membuat Airis menuntut penjelasan lebih.

Dia bergelut dengan pemikirannya sendiri. Memikirkan kalimat yang tepat agar Airis berhenti bertanya lebih. "Iya, aku punya. Dan sekarang, kita lanjut jalan, ya."

Cowok berlesung pipi itu memakaikan helm pada kepala Airis. Memberikan perlindungan kecil agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lalu dia membingkai senyum ketika Airis tersenyum dan mengangguk.

Airis sendiri sadar bahwa Arlen mengalihkan pembicaraan. Ia sadar bahwa Arlen tidak mau membicarakan itu secara lebih dengannya. Dia juga sadar bahwa banyak hal belum ia ketahui tentang Arlen dan keluarganya. Sejak kecil, ia hanya mengenal sosok Ayah Arlen yang hangat dan menerima kedatangan Airis dengan tangan yang terbuka lebar.

"Maaf, Ris. Belum saatnya kamu tau. Masalahnya berat." Kalimat bernada rendah itu sampai di telinga gadis di belakangnya.

"Lalu, kapan aku boleh tau?" Airis menyahut dengan nada lirih. Dia meremas ujung pakaiannya. Tidak kuasa menahan sebal. Arlen banyak menutupi kehidupan pribadinya padahal Airis sedari dulu suka bercerita tentang dirinya sendiri. Arlen terasa semakin jauh walau kenyataannya sedang berada di depannya.

Airis sadar. Tidak selamanya orang berada di titik yang sama. Orang akan berpindah, entah ke titik yang semakin dekat dengannya atau semakin jauh. Begitu pula Arlen. Lelaki berlesung pipi itu seolah membangun dinding pertahanan yang super kuat. Sebuah pembatas agar Airis berhenti di sana. Berhenti untuk berusaha masuk dalam masalah yang Arlen hadapi. Tidak membiarkan si penyuka coklat meruntuhkan image tegarnya seorang Arlen.

Padahal Airis tidak masalah jika suatu hari Arlen terlihat lemah. Terlihat tidak berdaya pun Airis tidak apa-apa. Airis bersedia menjadi tempat bersandar, tempat berteduh, dan tempat curahan hati Arlen. Dia hanya ingin sebuah keterbukaan dari Arlen, teman sekaligus penyelamatnya.

"Meskipun terlihat kekanakan, aku bisa bersikap layaknya orang dewasa. Aku pernah mengalami pengalaman pahit ketika kecil. Bahkan sampai saat ini. Aku kehilangan Mama, kamu tahu itu." Airis menjeda. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian dihembuskan pelan. "Kalau kamu butuh teman cerita, aku nggak pernah merasa keberatan. Ini yang kubilang kalo kamu udah berbeda dari sebelumnya. Kamu yang biasa mengirim e-mail menceritakan harimu, sekarang cuma sekadar tanya keadaanku. Memang sih, dari dulu kamu cuma cerita harimu yang bahagia. Nggak ada sedihnya sama sekali. Tapi itu cukup, kok."

"Aneh, kan?" Airis mengetuk punggung si pengemudi sambil tersenyum. "Aku mau turun di sini. Aku mau pulang sendiri."

Arlen menurut. Motor matic ditepikannya perlahan. Hingga Airis melepas helm, Arlen menatap dalam manik gadis yang terlihat rapuh itu.

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang