Bab 6

249 38 69
                                    

Kupikir, jika hari itu terulang, aku harap kamu tak menemukanku. Aku harap kamu tetap di sana. Tanpa mau menyebutku kucing tersesat. Yang kuinginkan kini hanyalah kamu tetap berada di sisiku. Saat ini hingga nanti.



Airis melangkah dengan riang. Gina berada di samping kirinya dan Tian di samping kanannya. Oke, Airis bak putri raja yang memiliki pengawal pribadi. Tapi tak jadi masalah selama Airis tidak merasa terganggu. Lagipula, Tian hanya mengikutinya sampai tiba di tempat parkir.

"Ris, gue duluan, ya. Sampai jumpa besok, Airis. Lo hati-hati di jalan."

Airis mengangguk canggung sedangkan Gina berlagak ingin muntah. Gina muak dengan kata-kata sok manis yang terlontar dari mulut Tian. Setelahnya, dua gadis itu melanjutkan langkahnya.

"Ris, Ris." Gina mengisyaratkan agar langkah mereka berhenti. Airis mengernyit, memangnya ada apa?

"Ada orang mencurigakan di depan kita."

Airis celingukan mencari sosok mencurigakan yang Gina katakan. "Mana? Nggak ada."

"Itu lho, yang pake kacamata hitam sama setelan jas hitam," tunjuk Gina dengan dagunya.

Airis menemukannya. Sosok itu tengah bersandar pada kap mobil hitamnya. Seketika jantung Airis berdetak tidak karuan. Sosok berjas hitam itu tiba-tiba mengingatkannya pada kejadian dua belas tahun silam.

"Gi-gina." Napas Airis terasa sesak. Padahal, sebelumnya Airis tidak pernah merasa seperti ini ketika melihat orang lain mengenakan balutan jas hitam serta kacamata hitam.

"Ris, kamu kenapa?"

Airis menggeleng. Dia menarik lengan Gina agar berjalan lebih cepat. Andai napas Airis tidak seperti sekarang, ia akan berlari sekencang mungkin. Dia takut.

Sementara itu, dari atas motornya, Tian dapat melihat kondisi Airis yang sepertinya tidak baik. Dia beranjak kemudian berlari kecil mengikuti keduanya hingga halte, tempat biasa Airis dan Gina menunggu angkutan umum.

"Ris, tadi lo kenapa?" tanya Tian khawatir. Airis sempat kaget dengan kedatangan Tian tapi kemudian ia menggeleng, mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa.

Napasnya mulai teratur. Dia mendudukkan diri dan menerima sodoran air mineral dari Gina.

Gina menatap Tian heran. Ingin bertanya tapi ia urungkan. Dia malah berucap, "Udah, mendingan Kakak jangan tanya-tanya Airis. Pulang aja, sana!" titahnya pada Tian yang sepertinya masih menginginkan jawaban detail dari Airis.

"Iya, Kakak pulang aja. Kak Tian kenapa ikut kita kesini? Bukannya Kakak udah di parkiran, ya?" tanya Airis setelah ia merasa baikan.

Tian speechless. Benar juga, kenapa tadi dia mengikuti Airis dan Gina? Padahal tadi sudah sempat bilang 'sampai jumpa besok' pada Airis. Terlebih, tadi ia sudah berada di atas motornya, siap untuk pulang.

"Ya udah, gue pulang dulu. Kalo ada apa-apa, telpon gue aja."

Airis tersenyum tipis seraya mengangguk pelan. Sedangkan Gina berdecih pelan. "Buat apa juga, ngehubungin orang yang bukan siapa-siapa? Mending telpon ayahnya Airis," batinnya sedikit kesal.

Beberapa menit setelah kepergian Tian, mobil silver berhenti tepat di hadapan Airis dan Gina. Airis sedang konsentrasi dengan game di handphone-nya jadi hanya Gina yang menyadarinya. Dia celingukan mencari seseorang yang mungkin adalah orang yang dijemput oleh mobil itu. Tapi nihil. Hanya ada mereka berdua di halte ini. Atau jangan-jangan, Airis yang dijemput?

Angkasa dan Raya✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang