Sebuah ruang kerja dengan fasilitas modern yang cukup luas dengan desain dinding bercorak batu bata berwarna cokelat serta dihiasi banyak tanaman hijau hidup hampir disetiap sudut ruangan termasuk bunga kecil di atas meja tamu dan di meja kerja sang pemilik. Sangat asri dan tenang. Sinar mentari yang mulai meredup semakin menambah kesan asri pada ruangan itu. Lalu sang pemilik? Perth Tanapon, pria 25 tahun, pebisnis muda, pemilik bisnis import mobil 'Perth Image Motorcars' dan beberapa bisnis ritelnya.
Tok . . . Tok . . . Tok . . .
Suara ketukan pintu terdengar di ruang kerja Perth, namun tak ada jawaban dari ruang kerja Perth. Masih sepi. Perlahan, pintu ruang kerja Perth terbuka, dan nampak seorang pria manis dengan rambut rapi dan poni yang semakin menambah kesan imutnya memasuki ruang kerja Perth. Ditangannya terdapat beberapa map file.
Saat memasuki ruang kerja Perth, matanya langsung tertuju ke meja kerja Perth, tak ada orang, lalu matanya diarahkannya ke sofa dan langsung menggelengkan kepalanya. Perth tengah berbaring di sofa masih lengkap dengan dasinya yang telah menjuntai longgar sedangkan jasnya dibiarkan tergeletak di atas meja tamu di sampingnya. Lengan kiri Perth dijadikannya bantal sedangkan lengan kanannya digunakan menutupi kedua matanya.
"Perth?" panggil pria itu dengan perlahan.
"Hmm." gumam Perth sebagai sebuah jawaban tanpa bergerak sedikitpun.
Pria itu membuang napas lega, dengan Perth yang langsung menjawab panggilannya berarti dia tidak benar-benar tidur, atau tidak benar-benar mati. Pria itu lalu memilih duduk di sofa depan sofa Perth berbaring, terpisahkan oleh meja kaca, map file yang dipegangnya diletakkan diatas meja.
"Aku pikir kamu langsung pulang ke apartemen?"
Perth menarik napas lalu membuangnya berat, "Masih ada file yang harus kuperiksa." jawabnya masih dengan lengan yang menutupi kedua matanya.
Perth tipe maniak pekerja keras sehingga tidak diragukan jika dia bisa sukses diusia muda tanpa bantuan orang tuanya sama sekali. Dia bahkan akan rela tidur dikantor hanya demi menyelesaikan satu pekerjaan, prinsipnya agar besok dapat melakukan pekerjaan yang lain lagi.
"Bagaimana terapinya? Apa aku akan mengatur jadwalmu lagi untuk pertemuan berikutnya?"
Mendengar kata 'terapi', Perth langsung menurunkan lengan yang menutupi matanya lalu langsung bangun duduk. Perth memandangi pria di depannya itu dengan tatapan putus asa.
Perth menggelengkan kepalanya, "Tidak ada gunanya, Plan" jawab Perth putus asa.
"Maksudmu?" pria yang disapa Plan itu terlihat bingung namun juga kasihan dengan Perth.
Perth perlahan tertunduk, lalu kedua bahunya mulai bergetar karena airmata Perth mulai jatuh tanpa bisa ditahannya lagi. "Apapun terapi dan konsultasi yang kulakukan, aku tetap tidak bisa berubah, Plan."
Plan menatap Perth iba. Dia sangat memahami betapa terpuruknya Perth saat ini. Sahabatnya sejak kuliah bersama di New York dan sekarang telah 3 tahun bersama sebagai tangan kanan Perth dalam menjalankan bisnisnya.
Plan bangkit berdiri lalu berpindah duduk disamping Perth, menepuk lembut belakang Perth untuk menguatkannya. Plan membiarkan Perth menumpahkan segala kesedihannya lewat tangis yang dia yakini sejak tadi ditahan oleh Perth.
"Aku akan berhenti menjalani semua terapi dan konsultasi itu. Aku hanya merasa semakin tersiksa. Aku hanya merasa membohongi diriku sendiri. Saat aku telah selesai dengan terapi dan konsultasi itu aku kembali lagi seperti semula." isak Perth.
Plan hanya mengangguk dan terus menepuk belakang Perth agar sedikit memenangkannya.
"Aku akan ke New York menemui kedua orang tuaku." kata Perth sambil mengangkat kepalanya memandangi Plan.

KAMU SEDANG MEMBACA
WITH YOU
RomancePerth Saint FanFic Perth Tanapon, seorang pria yang terperangkap antara membahagiakan kedua orang tuanya atau kebahagiaannya sendiri. Saint Suppapong, seorang pria dengan trauma mendalam, dan memilih untuk tidak jatuh cinta lagi.