Case 06. Yearning Feeling [3]

160 18 3
                                    

Notes! Penulisan cerita ini terinspirasi dari lagu "Love Story" milik Epik High feat. IU.

***

Malam itu, di bawah langit yang menangis kulihat sosok perempuan dengan kemeja yang basah, dengan susah payah ia mencoba untuk menghangatkan dirinya yang nyaris basah kuyup. Kulangkahkan kakiku menuju tempat gadis itu berdiri, sejujurnya aku ragu apakah ia akan menerima keberadaanku. Semua prasangka itu tertepis angin yang berembus malam itu, gadis itu menggigil kedinginan di hadapanku. Perbincangan yang cukup panjang tadi membuahkan hasil bahwa ia adalah adik tingkatku, kulepas jaketku saat kulihat ia menggigil kedinginan. Sebuah tawaran yang kuajukan saat itu langsung ia tanggapi dengan cepat dengan kalimat deklaratif. Sepertinya malam yang menangis itu adalah takdir atas pertemuan kita, saat itu, aku tak pernah mempunyai bayangan bahwa obrolan malam itu akan berlanjut lebih lama hingga melibatkan kobar perasaan kami. Hingga akhirnya aku tahu, bahwa malam itu menangis untuk kita, benang takdir kusut yang melilit kita berdua.

Perbedaan serta kemiripan yang miliki menyatukan segalanya, melebur dalam api bernama kasih sayang. Semua momen yang indah dan penuh kenangan itu kulalui bersamanya, semuanya adalah yang pertama bagiku. Baru pertama kali ini aku jatuh terlalu dalam pada sosok bernama Higurashi Kagome. Munafik jika aku tak mengakui bagaimana menarik fisiknya yag mungil itu seakan tarian yang terus menggodaku, setiap debar jantung yang terpacu lebih cepat seolah menjadi salah satu musik pengiring kami dalam berbagai momen. Aku masih mengingat kebodohanku malam itu, kukatakan diriku sakit-tapi itu memang benar, aku tidak berbohong akan itu. Kukatakan padanya bahwa aku tak bisa datang ke kafe yang sudah kami setujui untuk mengerjakan tugas kelompok, ketika ia tiba di apartemenku, peluh membasahi pelipisnya karena khawatir terhadap keadaanku.

Aku tak bisa lupa malam pertama kita, setelah disatukan oleh rasa suka. Tangan kikuknya yang mencoba untuk mencoba terampil kala membuka kemejaku. Pagutan bibir yang awalnya terasa tak lebih dari sekedar bibir yang saling menempel itu pun berubah menjadi sebuah penuntutan terhadap nafsu yang mengatasnamakan cinta.

Saat wanita yang kusayangi setelah ibuku itu bercerita tentang keluarganya malam itu, membuatku ingin memberi separuh hatiku untuk hidup bersamanya, mengikat janji bahwa kami akan hidup dalam waktu yang lama-menua bersama dengan menyesap teh hangat di sore hari sambil melihat anak cucu kita tumbuh. Kuikat ia dengan sebuah janji, bahwa aku akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kulakukan padanya. Kala hujan menyapa, kau menggunakan tubuhku sebagai atap untuk melindungimu dari tangisan langit.

Aku masih mengingatnya dengan jelas semua tentangmu, rasanya tak pernah cukup untuk membahas wanita yang berhasil merebut hatiku itu. Semuanya baik-baik saja hingga akhirnya waktu yang membuatku takut untuk berpisah dengannya tiba, aku tak bisa menolak kehendak ayahku yang harus kembali ke Washington dan melanjutkan studi di sana. Hubunganku dengan Kagome berubah seperti duri yang siap menusukmu kapan saja tanpa meminta persetujuan darimu. Kisah cinta jarak jauh yang kujalani bersamanya lambat laun membuatku khawatir setelah semua surat elektronik yang selalu kukirimkan padanya setiap hari tak kunjung ada jawab darinya, kuputuskan untuk melakukan panggilan internasional.

Kau tahu betapa senangnya diriku saat wanita itu mengangkat panggilanku? Semuanya tak dapat kau rangkum dengan kata-kata untuk membentuk kalimat dalam satu paragraf. Belum sempat kudengar suaranya, kudengar suara wanita yang lebih tua darinya yang kupikir itu ibunya, menyahut dengan keras.

"Siapa namanya?"

"Taishō Nakashimaru," sahut Kagome melemah.

"APA?!" pekik wanita itu refleks setelah mendengar jawaban dari Kagome.

"Aku tak membutuhkan persetujuan dari Sesshōmaru atas itu!"

Aku tidak bisa bernapas setelah mendengar apa yang Kagome lontarkan dengan nyaring dalam telpon, udara yang kuhirup seperti menusukku dengan kejam dan tanpa ampun. Duniaku rasanya runtuh hanya dalam sekejap dan panggilan itu kututup saat mereka baru menyadari bahwa aku melakukan panggilan internasional. Malam itu hujan mengguyur dengan derasnya, seperti awal pertemuanku dengannya, namun tetes-tetes hujan yang syarat akan rindu terasa memilukan, ia menyapaku ketika Kagome telah memutuskan melalui jalan yang berbeda denganku.

Limerence CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang