Case 16. The World We Made

92 11 0
                                    

.

AU : Bersetting di zaman modern dengan eksistensi siluman berwujud manusia yang dipandang sebagai perbedaan ras.

.

.

.

"Apa kau gugup?" suara tinggi khas anak kecil memecah keheningan.

Alis milik orang yang diajak berbicara berkumpul di tengah, sedari tadi ia menggigit bibir bawahnya. "Tidak, tentu saja tidak."

Karena perasaan asli ibunya sangat mudah dibaca dari ekspresi yang ditampilkan, lagi-lagi, Shippou bertanya, "Kau yakin?"

Wanita bermakhota legam, bergelombang, sepanjang punggung itu mengangguk mantap. Dengan pernyataan itu, Shippou melepaskan sihirnya. Ekor bulu tebal berwarna khaki nan lembut pun menyembul dari celana jin pendek yang memang di desain secara khusus untuk jenis mereka.

Kesunyian kembali mengisi selama beberapa detik, sebelum pada akhirnya ...

Di balik kemudi yang terlalu erat digenggam, Kagome menghela napas yang tertahan melalui mulut. "Aku tahu, seharusnya akulah yang menenangkanmu, tapi kau itu terlalu cerdas untuk kubohongi. Kau benar, Shippou, aku gugup dengan bagaimana penilaian mereka terhadap kita."

Wanita berumur dua puluh lima tahun itu sudah pasti tidak akan terlalu memikirkan pendapat orang lain seandainya saja ia menjadi orang tua tunggal normal.

"Jika ada yang berkata buruk kepadamu, mereka harus menghadapiku," tukas bocah laki-laki yang secara rupa berumur delapan tahun itu.

Atas kalimat itu, si sulung Higurashi tertawa kecil. Warna lampu lalu lintas berganti, merah membuat laju kendaraan mereka berhenti. Cengkeramannya pada kemudi mengendur, Kagome menoleh untuk menatap sosok yang kini, secara hukum telah resmi menjadi 'anaknya'. Zamrud balik menatap, seketika, semua kegelisahan wanita itu tergantikan. Kagome tidak akan lupa pada niat awalnya mengadopsi bocah siluman rubah sebatang kara yang ia kenal sejak setahun yang lalu. "Aku akan selalu menjagamu, Shippou."

Sebagai tanggapan, siluman rubah kecil itu balas berjanji sembari menganggukkan kepala serta cengiran lebar. "Dan aku akan melindungimu selama-lamanya!"

"Untuk melindungiku, kau harus belajar lebih giat lagi, oke!"

"Tidak ada hubungannya dengan belajar."

"Tentu saja ada hubungannya," ujar Kagome seusai terkekeh, ia ingin menjelaskan lebih panjang lagi, tapi mereka telah tiba di area pemukiman yang menjadi tujuan.

Rumah-rumah mewah berdiri dengan pongah. Keduanya bungkam dan sibuk meneliti sekitar. Untuk ukuran Minggu pagi, jalan di antara dua baris rumah yang saling berhadapan terlihat kosong.

Di lingkungan itu, Kagome berharap, dengan semakin tingginya pendidikan yang diperoleh manusia, akan membuat pikiran mereka semakin berpikiran terbuka dan memiliki kadar toleransi yang lebih tinggi. Jepang memang sudah sangat maju di abad 20 seperti saat itu. Kesetaraan akan siluman dan manusia diteriakkan di seluruh penjuru negeri. Kendati begitu, akan selalu ada orang berpikiran kolot yang menentang keras hubungan apapun antar dua ras tersebut.

"Nomor sepuluh. Apakah,"

"Yap, ini dia!" Kagome mengumumkan lantang. "Rumah baru kita!" terangnya lagi. Semangatnya mendadak membuncah, seakan-akan, ia mampu menghadapi apa saja yang kelak terjadi.

Ibu dan anak itu turun dari mobil, menatap lama rumah dua lantai bercat kuning yang terbilang amat mungil bila dibandingkan dengan bangunan lainnya di sekitar situ. Kurva lega tercipta pada roman keduanya.

Limerence CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang