Case 08. Seeing Blue [3]

134 17 22
                                    

Red and Yellow for the courage, White designate death, and ...

.

.

.

Masih tidak ada respons. Tanpa pikir panjang Sesshoumaru mengangkat dan mengayunkan pedangnya. Bunyi nyaring senjata yang berbenturan memenuhi ruangan. Bagian lengan kiri pakaian perempuan itu sedikit robek, namun kulitnya tidak tersentuh karena terlindung oleh wakizashi yang terikat di balik kimono.

Sang gadis masih dalam posisi semula tapi suara decak jengahnya cukup keras hingga mencapai telinga si kesatria.

Saat mengunci pergerakan, Sesshoumaru memang sudah menyadari bahwa lawannya menyembunyikan senjata di lengan kiri. Di beberapa keadaan, perempuan itu bisa saja melukainya, tapi tidak dilakukan. Karena faktor itu pulalah samurai itu semakin yakin bahwa orang tersebut menyerangnya hanya karena gerak-geriknya dikendalikan oleh maujudat lain.

Prajurit itu mengutarakan ketidaksabarannya, "Jika kau tidak segera bangkit dan memberikan penjelasan, maka ... "

Gadis itu mengerang sebelum memotong ucapan si prajurit, "Kau tidak akan segan-segan membunuhku, begitu?" kalimat tanya itu diakhiri dengan embusan napas panjang. Tanpa menunggu sahutan, ia sudah kembali berkoar, "Tidak bisakah kau membiarkanku beristirahat sejenak? Kau tidak tahu sih, bagaimana penatnya badan seusai dirasuki siluman."

Meski enggan, pemilik paras elok itu pun bangun untuk duduk secara formal (seiza). Tangan kanan menyilang untuk memegang lengan kiri, lagi-lagi untuk menutupi area pribadi. "Selain itu, mengapa kau menyerangku?" sentaknya mendadak.

Tidak peduli dengan ucapan sengit yang dilontarkan, Sesshoumaru kembali mengacungkan senjata, ujung bilah katana-nya hanya berjarak sedepa dari roman si perempuan.

Sepasang permata berwarna langka menatap balik netra hazel tanpa gentar. Keadaan itu berlangsung cukup lama hingga membuat salah satunya tak tahan untuk tidak berkedip.

Perempuan itu tidak langsung membuka mata. Masih terpejam, ia angkat bicara, "Apa yang ingin kau ketahui?" Suaranya bulat oleh percaya diri.

"Semuanya!"

Gadis itu membuka kelopaknya perlahan. "Pertama-tama, aku tidak akan berterima kasih padamu untuk tadi, maupun ini," pandangan gadis itu beralih ke pedang yang dengan enteng mampu merunjang lehernya kapan saja.

"Seorang samurai tidak butuh ungkapan syukur dari orang yang ditolongnya dan katana-ku akan tetap seperti ini sampai puas dengan jawabanmu!"

Jengkel mendengar balasan yang didapat, kedua pangkal alis pemilik wajah manis itu berkumpul ke tengah dan ia berkata dengan ketus, "Perlu kau ketahui bahwa kau telah merusak rencana yang sudah kususun. Kehadiranmu hanya membuat kita berdua hampir kehilangan nyawa!"

Sang kesatria tidak percaya atas apa yang baru saja ditangkap oleh daun telinganya, insan tanpa nama yang ada di hadapan secara resmi berhasil menyenggol egonya. Tentu, Sesshoumaru tak lupa bahwa tadi tubuh gadis itu dikuasai oleh siluman. Biarpun begitu, tetap saja kalimat itu tidak pantas diucapkan oleh satu-satunya orang yang memulai perang dan menyerangnya dengan membabi buta.

Seraya meletakkan wakizashi bergagang putih miliknya ke lantai, gadis itu bertutur dengan ogah-ogahan, "Tapi," meski kau membuatku meradang, tetap saja, "baguslah kau selamat." Meski ditutup-tutupi, kelegaan yang terkandung tetap saja terdeteksi.

Sepadan dengan suaranya, mimik perempuan itu berkedut menahan rasa tak nyaman. Posisi duduknya memang layak, tapi tambah lama kian jauh dari menyenangkan. Kedua kakinya sebentar lagi kesemutan meski begitu, ia menahan diri untuk tidak banyak bergerak bila tidak mau tubuhnya terekspos.

Limerence CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang