3

430 25 0
                                    


                             🌼🌼🌼

Seperti biasa Kirana hanya berdiam diri di kelas saat istirahat. Bukan tanpa sebab, uang sakunya yang minimalis akan dia tabung untuk membeli buku lagi. Saking lamanya tak memiliki buku paket itu, sampai-sampai dia selalu disindir oleh guru tersebut setiap kali ada pelajarannya.

Telinganya sudah kebal mendengar sindiran demi sindiran. Bukannya dia tidak ingin membeli buku paket itu, hanya saja ibunya belum gajian. Lantas bagaimana caranya membeli buku? Kalau pun ibunya sudah gajian pasti dia akan langsung membelinya.

Semua teman sekelasnya sudah berhamburan keluar menuju ke kantin. Gigi belum beranjak dari kursinya. Matanya mengamati Kirana yang masih diam ditempat.

"Gak ke kantin?" Tanya Gigi mengubah posisinya sampai menghadap ke Kirana.

"Nggak, kalo Lo mau ke kantin. Ya udah ke kantin aja," jawabnya sambil sibuk membaca buku pelajaran.

"Gue traktir deh, tapi Lo temenin gue ke kantin," pinta Gigi yang tahu jika teman sebangkunya sedang tak memiliki uang.

"Nggak makasih, udah keseringan juga ditraktir, ntar gue dikira manfaatin elo." Kirana menggelengkan kepalanya.

"Udah nggak usah dengerin orang, orang mau bilang apa juga terserah. Kan gue yang keluar duit. Toh gue mau dimanfaatin sama elo, ikhlas malah." Gigi tersenyum lebar.

"Lagian ya, gue juga sering nyontek elo. Anggap aja ini bayaran karena elo selalu nyontekin gue. Ayok lah gak usah malu-malu." Gigi mengambil tangan Kirana yang ada di meja dan menariknya agar berdiri, namun gagal.

"Udahlah elo ke kantin sendiri aja," Akhirnya Gigi melepaskan tangannya yang menggandeng tangan Kirana. Dengan berat hati Gigi berbalik dan melangkah pelan siapa tahu Kirana berubah pikiran. Harapannya tinggal harapan, Kirana masih keras kepala.

Saat hampir diambang pintu tiba-tiba sebuah ide berlian masuk ke otaknya. "Yah, padahal Arka sekarang lagi ada di kantin," ucapnya dengan nada lesu.

Mendengar nama Arka disebut, mata Kirana langsung bersinar cerah. Rasa gengsinya dia hempas jauh-jauh demi bisa bertemu dengan Arka. Bunyi kursi yang didorong ke belakang membuat senyum Gigi terpancar. Idenya memang manjur. Kirana berlari menyusul Gigi yang sudah berada di luar kelas.

"Gue ikut!" Pekiknya.

"Nah gitu dong dari tadi."

***

Di kantin sudah ramai dengan kehadiran Arka. Semua gadis-gadis berteriak histeris mengerubungi meja tempat duduk cowok itu. Niatnya hanya ingin Kirana ikut ke kantin dengan menyebut nama Arka. Dan tak tahunya Arka memang ada di sini. Gigi mulai curiga jika dia memiliki kekuatan supranatural.

Bukannya memakan makanannya, yang ada Kirana melompat-lompat ingin melihat Arka yang dikelilingi kaum hawa. Dengan dongkol Gigi menarik Kirana ke mejanya.

"Ana, makan!" perintah Gigi tegas.

"Entar aja, gue belum liat Arka." Kirana memohon.

"Emangnya kalo liat Arka perut Lo jadi kenyang?"

"Iya kenyang banget malahan." Matanya berbinar.

"Makan sekarang! Liat Arka kan bisa nanti." Dengan terpaksa Kirana memakan makanannya. Dia sadar jika makanan ini dibelikan dengan uang Gigi. Setidaknya dia harus nurut.

Gigi heran, sejak kedatangan murid baru tiga bulan yang lalu. Keadaan sekolahnya menjadi aneh. Semua siswi terlalu memuja-muja Arka. Bahkan sampai saling membully untuk merebutkan cowok itu. Pembawaan Arka memang santun, ramah dan pintar. Tipe murid teladan yang di sayang para guru.

Logikanya mengatakan jika cowok itu normal. Namun intuisinya mengatakan sebaliknya. Ada yang mencurigakan dari cowok itu. Dia terlalu sempurna sebagai manusia. Setidaknya sebagai siswa teladan pada umumnya pasti memiliki kekurangan.

Dulu sebelum kedatangannya, sekolah ini kondusif. Gadis-gadis yang ngefans dengan seseorang pun masih terlihat normal-normal saja seperti biasa layaknya remaja. Tidak seperti sekarang yang terlalu lebay, hingga berbaris di depan gerbang hanya untuk menyambut murid baru itu.

Mengapa hanya dia saja yang tak melihat Arka sesempurna itu? Bukan dilihat dari fisik, melainkan dari mata hatinya. Pertanyaan itu yang selalu berulangkali ada di otaknya.

Dimasa lalu

Putra mahkota tampak tak tenang dalam tidurnya. Seperti akan ada sesuatu yang menimpanya. Entah apa itu. Sudah beberapa kali matanya dipejamkan berharap kantuk datang. Namun matanya masih saja terjaga, putra mahkota memutuskan untuk mencari udara segar diluar tenda. Malam ini tak begitu gelap, sinar bulan memancar terang menyusup masuk dirimbunan pohon.

Para prajurit yang berjaga menunduk hormat, ketika melihat putra mahkota melintas. Putra mahkota terduduk di dekat api unggun, menatap jauh ke depan. Pikirannya melayang memikirkan jika pasukan pemberontak datang menyerang dan membunuh habis pasukannya dengan kekuatan mereka. Pasukannya tak kalah jumlah, hanya saja mereka tidak memiliki kekuatan. Berbanding terbalik dengan pasukan pemberontak, walau jumlahnya sedikit tapi mampu menggunakan kekuatan. Maka sudah dipastikan pasukannya kalah telak.

Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan, mereka pasti menjadi anak yatim dan janda. Dia merasa gagal menjadi pemimpin pasukan. Strategi apa yang harus dia lakukan, jika kelemahan pasukan pemberontak tak ditemukan. Beban yang ditanggungnya sangat besar. Berapa besar kemungkinan pasukannya menang? Mungkin hanya 0,001%.

Kakek Gito terlihat bingung saat dia berada di dalam ruangan labirin. Kakinya berjalan menyusuri lorong yang tampak membingungkan. Tak tahu jalan mana yang membawanya keluar dari tempat ini. Sudah berkali-kali dia berkeliling namun tak juga menemukan. Hingga dia terdiam menutup matanya sambil berkonsentrasi Beberapa menit. Hingga saat matanya terbuka terdapat bola cahaya berwarna biru melayang di depannya. Bola itu melayang menjauh, kakek Gito mengikuti kemana bola cahaya itu pergi.

Matanya terbelalak kala keluar dari labirin dan menemukan sebuah ruangan putih yang terdapat meja besar memanjang dengan kursi-kursi yang mengelilingi. Bola cahaya itu menghilang, seolah tahu apa yang harus dia lakukan. Kakek Gito melangkah dan duduk di kursi bagian ujung. Kursi-kursi yang kosong tiba-tiba terisi oleh orang-orang yang tidak dia kenal. Hingga matanya menatap seseorang yang ada di sebelahnya. Seseorang yang dia kenal yaitu kakek dan ayahnya ada di ruangan ini.

Raut wajahnya masih saja kebingungan. Tempat apa ini? Seseorang yang ada di ujung sana berdiri dan semua orang terlihat menunduk hormat. Kakek Gito juga melakukan hal yang sama. Matanya menatap pria gagah dengan jubah berlapis emas yang tersenyum.

"Sepertinya ada yang bingung di sini, sebelum membicarakan pokok masalah. Terlebih dahulu saya akan memperkenalkan diri,"ucapnya dengan suara yang berwibawa. Matanya menatap kakek Gito yang tampak kebingungan itu.

"Perkenalkan nama saya Waya. Sedangkan mereka semua adalah penjaga kitab ketujuh pendahulu sebelum kamu. Dengan kata lain mereka adalah leluhur mu. Sayalah yang menugaskan mereka menjaga kitab ketujuh atau bisa disebut sebagai kitab terakhir. Karena saya yang menciptakan ketujuh kitab itu." Mata kakek Gito terbelalak saat mengetahui siapa sebenarnya orang-orang ini. Terlebih orang yang ada di depannya.

"Apakah kamu tahu, mengapa kamu sampai ditarik masuk ke dimensi lain ini?" Kakek Gito menggeleng kuat, tak tahu apa kesalahannya. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menggigil kala ingat jika kemarin saat diserang pasukan pemberontak, dia melupakan kitab itu karena sibuk menolong orang-orang.

"Ampuni hamba tuan, hamba baru ingat kesalahan hamba," ucapnya sambil bersujud dilantai.

"Berdirilah Gito!" Perintah Waya tegas.

TBC

24 Oktober 2019


Kira-kira apa yang akan Waya lakukan terhadap kakek Gito?

Tunggu episode selanjutnya...

Magical Story(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang