21

239 22 0
                                    


                             💔💔💔

Arka, entah sudah berapa kali pria itu mondar-mandir di depan pintu. Mungkin jika ada orang yang melihat, pasti akan menganggap pria itu gila. Sudah dari beberapa jam yang lalu kegiatan unfaedah itu ia lakukan.

Yang melihat saja pasti kepalanya pusing, apalagi yang melakukannya dari tadi. Tapi nyatanya pria itu tak merasakan pusing sedikitpun. Justru hatinya yang gelisah entah kenapa. Beberapa kali juga pria itu melihat dibalik jendela mengamati keadaan diluar rumah. Tampak sama seperti biasanya.

Lalu ada apa dengannya saat ini? Arka menghela nafasnya gusar.

***

Sudah beberapa jam yang lalu Kirana berteriak meminta tolong. Namun sampai sekarang tak ada yang mendengarnya. Padahal suaranya sudah hampir habis. Lelah dan perih yang sekarang tubuhnya rasakan.

Entah salah apa yang dia lakukan hingga kakak kelasnya itu murka. Padahal ia tak pernah mencari masalah apalagi menggoda pacarnya. Tahu wajah pacarnya saja tidak.

Kirana mendongak menatap langit- langit toilet yang sangat kotor. Banyak sarang laba-laba yang menggelantung menambah seram tempat itu. Tubuhnya yang babak belur mencoba bergeser ke arah pintu. Walau terseok-seok menahan rasa sakit di lututnya.

"Tolong!"  Teriak Kirana sambil menggedor pintu dengan sisa tenaganya.

Punggungnya bersandar dibalik pintu, nafasnya tersengal-sengal. Rasanya sudah tak ada harapan lagi untuk keluar dari tempat ini. Mungkin ia akan menginap di tempat ini sambil menunggu ada seseorang yang menemukannya.

Gadis itu sangat ketakutan hingga air mata keluar terus menerus. Seluruh tubuhnya gemetaran membayangkan tempat ini jika malam menjelang. Keadaan siang saja sudah sangat menyeramkan begitu gelap, lembab dan kotor.

Tempat yang paling disukai oleh makhluk tak kasat mata atau yang biasa disebut hantu. Dan sayangnya makhluk yang paling Kirana takuti. Matanya selalu melihat pintu-pintu yang berjejer dengan perasaan was-was. Takut bila tiba-tiba pintu itu membuka menutup dengan sendirinya. Apalagi bertemu dengan Tante kuntilchildren hantu yang selalu memakai daster putih dengan rambut panjangnya, rasa-rasanya Kirana ingin pingsan saja saat malam menjelang. Hingga terhindar dari gangguan makhluk halus itu.

Keringat dingin sudah mengucur deras. Ia sungguh tak ingin bermalam di sini. Ingin pingsan tapi tidak bisa.

Sial.

Arka memainkan bolpoin dengan satu tangannya. Tatapan matanya tak lepas dari pintu toilet di depannya. Pria itu melirik jam tangannya lalu ia mengacak-acak seragamnya hingga tampak kusut tak lupa rambutnya yang tertata rapi ia acak asal. Kini penampilannya sangat menyakinkan.

Sudah tak ada teriakan meminta tolong. Mungkin gadis itu sudah terkapar bersimbah darah atau nafasnya sudah hampir habis. Ia tak perduli. Inilah hukuman kalau ada yang berani menolaknya.

Seringainya tampak bengis menyelimuti wajahnya yang tampan. Lalu sepersekian detik berikutnya ekspresi wajahnya berubah menjadi raut wajah khawatir.

"Kirana!!" Tangannya menggedor pintu dengan kencang dengan nada khawatir.

Gagang pintu beberapa kali bergoyang karena Arka berusaha masuk tapi pintu dalam keadaan terkunci.

"Tolong," ucap Kirana lirih dengan nafas berat.

"Bertahanlah dan menyingkir dari pintu." Dobrakan pintu terdengar memekakkan telinga.

Hingga pintu berhasil didobrak sampai engselnya terlepas. Di sana Arka melihat keadaan Kirana yang sangat menyedihkan baju terkoyak, luka lebam diarea bibirnya. Beberapa helai rambut berserakan di lantai, kemungkinan besar milik gadis itu.

Walau wajahnya menampilkan raut sedih dan khawatir. Tapi tidak dengan isi hatinya yang begitu gembira.

Arka membantu Kirana berdiri dengan susah payah. Tanpa Kirana sadari pria itu menyeringai saat tangannya dapat menyentuh tubuh Kirana dan menyerap Cakranya dengan leluasa.

Gadis ini sudah ada di genggaman tangannya. Gadis yang begitu sombong karena tak mau bersentuhan dengannya. Ingin rasanya Arka tertawa terbahak-bahak menertawakan gadis bodoh ini.

Kirana tak bisa lagi menolak sentuhan yang begitu menyiksa. Bagaimana tidak, jika setiap kali Arka menyentuhnya maka ia akan sangat merasa lemah. Seperti tenaganya berkurang sedikit demi sedikit.

Luka cakaran yang memanjang di lengannya begitu perih saat di sentuh tangan dingin pria itu. Kirana memandang heran wajah Arka yang tampak khawatir tapi dibalik raut wajahnya itu tergambar jelas bahwa Arka menikmati kesakitan yang ia rasakan. Bukannya ia berfikiran buruk kepada orang yang menolongnya. Tapi hatinya mengatakan hal itu. Dan itu begitu kuat terasa.

Saat Arka membawanya ke mobil warna merah yang tampak tak asing di matanya. Perasaan Kirana berkecamuk. Pintu mobil itu sudah terbuka. Ragu-ragu untuk menaikinya Kirana menatap Arka sekali lagi. Namun tak ada pilihan lain. Akhirnya gadis itupun masuk dan duduk dengan tegak menghadap lurus ke depan.

Suasana di mobil ini begitu dingin. Bukan dingin karena AC yang biasa dinyalakan saat udara panas. Tapi dingin yang menyeramkan. Sepertinya hawa dingin ini berasal dari sosok yang ada di sampingnya yang sedang mengemudi.

"Kita ke rumah sakit dulu ya?"

"Nggak, gue bisa obati sendiri di rumah."

"Atau mampir dulu ke rumahku di sana ada obat supaya lukamu tidak infeksi."

"Nggak, makasih," tolak Kirana tegas. Ia benar-benar tak nyaman berdekatan terlalu lama dengan pria misterius itu.

"Oke, terserah kamu aja. Aku nggak mau maksa lagi. Tapi kasih tahu alamat rumah kamu dulu," ucapnya sambil fokus mengemudi.

Dengan terpaksa Kirana menyebutkan alamat rumah yang sebenarnya. Dari pada ia yang dibawa ke rumah pria itu. Malah lebih menyeramkan lagi.

Perjalanan itu begitu sunyi tak ada yang mau membuka suara lebih dulu. Hingga mobil itu berhenti di depan rumah minimalis berlantai dua. Berbeda jauh dari rumah yang pernah Kirana tunjuk sebagai rumahnya.

Suara mobil sport yang nyaring menarik perhatian Arka. Ia berjalan ke jendela untuk melihat apa yang ada di bawah sana. Sebuah benda yang mirip seperti yang Kirana perlihatkan padanya beberapa hari yang lalu. Tapi dengan model yang berbeda. Lebih keren dan bersinar. Mata Arka seketika berbinar, ia ingin menaiki benda itu suatu hari nanti.

Disaat dirinya sedang mengagumi benda itu. Tiba-tiba seseorang keluar dari benda itu dan berlari ke sisi yang sebelahnya sambil membuka pintu. Arka tak begitu jelas melihat wajah pria yang sekarang tengah membantu Kirana berdiri. Fokusnya beralih kepada Kirana yang tampak kacau dengan luka-luka di tubuhnya. Apalagi baju yang dikenakannya sudah terkoyak di bagian lengannya dan juga kotor. Entah hal bodoh apa yang gadis itu lakukan.

Saat pria itu membantu Kirana keluar dari mobil. Wajah pria itu terlihat jelas.

Deg

Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak. Wajah itu, sangat mirip dengannya. Tapi lebih suram, gelap dan menyeramkan.

Giginya bergeletuk dengan rahang mengeras saat melihat pria itu merangkul Kirana dengan hati-hati. Walau Kirana tampak enggan untuk bersentuhan. Itu terlihat saat pria itu ingin merengkuh tubuh Kirana yang langsung ditolak dengan mendorong tangan pria itu. Tapi tampaknya pria itu pantang menyerah. Hingga Kirana tak dapat menolaknya.

Arka melihat adegan itu dengan sorot mata tajam. Dadanya sesak bagai terhimpit batu besar. Nafasnya pun tercekat.

Ia tak rela melihat Kirana bersama pria yang mirip dengannya itu. Ia hanya ingin gadis bodoh itu menjadi miliknya.

Iya, miliknya. Arka tak dapat kehilangan gadisnya. Ia sudah mengklaim, maka tak ada yang dapat merebutnya sekalipun orang yang mirip dengannya itu.

Jari-jarinya mengerat membentuk tinju dengan tatapan lurus ke bawah di mana Kirana masih dirangkul menuju teras rumah.

Ia ingin keluar dari belenggu sialan ini.

TBC

15 Desember 2019


Magical Story(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang