19

186 18 0
                                    


🧡🧡🧡

Pagi ini tak tahu kenapa, Kirana selalu mendapat kesialan yang bertubi-tubi. Dari ban sepedanya yang tertusuk paku sampai jatuh ke selokan. Untung tas dan bajunya tidak kotor terkena cairan berwarna hitam pekat dengan aroma menyengat.

Hanya saja ia harus merelakan sepatu butut dan kakinya masuk kedalam selokan itu.

Gadis itu sudah menggerutu kesal dan mencak-mencak dipinggir jalan dan ia tak memperdulikan tatapan geli orang-orang yang ada di sekitarnya. Ini semua karena sebuah mobil yang melaju cukup kencang dengan jarak yang begitu dekat dengan sepeda yang dikendarainya.

Hingga gadis itu kaget dan tak bisa mengendalikan laju sepedanya. Beberapa kali Kirana menyumpahi pengendara mobil itu yang kemungkinan mendapatkan SIM dari hasil Kong kalikong dengan petugas.

Sehingga tak tahu caranya berkendara yang baik dan benar. Dan membahayakan pengguna jalan yang lain. Seperti dirinya saat ini. Untung
Dirinya tidak tertabrak mobil sialan itu. Di balik kesialan di situ ada keberuntungan yang tersembunyi. Sayangnya banyak orang yang lebih mengingat kesialannya dibandingkan dengan keberuntungannya.

Kirana bergegas melanjutkan perjalanannya saat melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit lagi. Itu artinya ia bisa terlambat datang ke sekolah pagi ini.

Saking buru-burunya Kirana tak melihat ada seorang wanita yang menyebrang jalan dengan sembarangan tanpa menengok kanan kiri lebih dulu. Alhasil Kirana menambrak pinggul ibu itu hingga mereka terjungkal bersamaan.

Ibu itu mengaduh kesakitan, badannya yang gempal jatuh di aspal dengan nasi uduk yang berhamburan di mana-mana. Ibu itu bangkit dengan susah payah sambil menggeram marah. Apalagi saat melihat nasi uduk untuk sarapannya berhamburan di tanah.

Kirana sampai meringis ngeri melihat mata ibu itu yang melotot. Membuat bola matanya hampir keluar dari tempatnya.

"Heh!! Punya mata kagak Lo!" Bentaknya dengan suara nyaring khas emak-emak.

Tubuh Kirana gemetaran. Ia menundukkan kepalanya dalam. Tak sanggup melihat ibu-ibu itu yang tampak mengerikan. Hidungnya kembang kempis, tangannya berkacak pinggang, mata melotot dengan tubuh gempal. Tangannya saja sebesar kaki gadis itu.

Bila kena tampol, habislah riwayatmu. Tangan kiri masuk UGD sedangkan tangan kanan langsung masuk ke liang lahat. Alias metong (mati).

"Pu-pu-punya buk," ucap Kirana gagap.

"Apa?!" Teriaknya karena tak mendengar suara Kirana yang tak jelas.

"Pu-pu-punya buk," jawabnya sekali lagi.

"Yang jelas kalo ngomong!"

"Punya buk!" Ucap Kirana dengan sedikit teriak.

"Kagak usah teriak Lo! Gue nggak budeg!" Ucapnya dengan suara melengking.

"Maaf buk, nggak sengaja," ucap Kirana bersalah.

"Oke gue maafin, tapi ini dulu," ucap ibu itu sambil menengadahkan telapak tangannya dan menggerak-gerakkan jari-jarinya.

Kirana melongo melihat gerakan tangan ibu itu. Jujur ia tidak paham.

"Sini cepetan!" Ucapnya tak sabaran.

"Apa?" Kirana dengan muka bingung.

"Duit lah!"

"Duit?" Kirana menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Duit buat ganti rugi nasi uduk gue, sini cepetan nggak usah banyak bengong."

Lantas Kirana paham saat menyadari jika ada nasi yang berserakan di sekitarnya. Ia mengambil uang dari saku bajunya. Tapi tanpa peringatan ibu itu langsung merebut semua uang saku gadis itu tanpa sisa.

"Buk, jangan ambil semua." Tangan Kirana berusaha meraih tangan ibu itu yang menggenggam uangnya.

"Heh bocah! Ini aja masih kurang buat beli obat sama nasi uduk. Lo nggak liat gue sampai jatuh. Sekujur tubuh gue pegel-pegel gara-gara elo." Padahal Kirana lah yang lebih parah dari ibu itu. Lututnya luka dan mengeluarkan banyak darah.

Karena tak mau terlambat Kirana memutuskan mengikhlaskan semua uang jajannya hari ini. Toh, ia juga salah karena ngebut. Lagipula ia sudah biasa kelaparan di sekolah. Jadi tak ada masalah buat Kirana. Yang terpenting ia tidak telat masuk sekolah pagi ini.

Kirana meringis saat mengayuh sepedanya. Karena lututnya yang terluka selalu bergerak-gerak cepat agar sampai ke sekolah tepat waktu. Membuat gadis itu harus menahan rasa sakitnya sepanjang jalan.

Gadis itu tiba di depan gerbang yang sudah tertutup rapat. Kirana turun dari sepedanya dan menggenggam jeruji besi pintu gerbang sambil memohon dibukakan oleh pak satpam yang sekarang ada di posnya.

"Pak tolong dibukain," ucapnya memelas.

"Maaf dek, Ini sudah lewat sepuluh menit."

"Pak, tadi di jalan saya kecelakaan."

"Maaf dek, ini sudah peraturannya."

"Nih pak kalo nggak percaya," ucap Kirana sambil memperlihatkan lututnya yang terluka dan berdarah kepada satpam itu.

"Ada apa pak?" Tanya Arka yang muncul tiba-tiba.

"Ini dek, adek ini ngeyel pengen masuk. Padahal kan peraturannya kalo siswa terlambat dilarang masuk," ucapnya kekeh.

"Kasihan pak, itu lututnya luka takut infeksi kalo dibiarin kelamaan. Biarin dia masuk pak, saya yang tanggung jawab."

"Ya udah deh, tapi beneran ya? Adek yang tanggung jawab. Bapak nggak ikut-ikut."

"Iya pak," ucap Arka sambil terkekeh.

Akhirnya pintu gerbang dibuka dan membiarkan Kirana masuk sambil menuntun sepedanya dengan kaki tertatih-tatih. Ia tak sanggup lagi untuk mengayuhnya.

Arka yang melihat cara jalan Kirana yang kesakitan, ia justru menyeringai menyeramkan tanpa satu orangpun yang tahu.

Arka mengambil alih sepeda yang sedang dituntun Kirana. Pria itu membawa sepeda itu ke tempat parkir. Lalu langkahnya mendekati Kirana yang masih bengong ditempat.

Ia berusaha merangkul tubuh Kirana untuk membantunya berjalan. Tapi sayangnya Kirana menghindar tak mau bersentuhan dengan pria aneh ini.

Sejak mengetahui Arka manusia yang paling aneh yang pernah ia temui, sekarang gadis itu tak mau bersentuhan atau ada hubungan apapun dengannya.

Tadi walau sebentar ia merasa tengkuknya merasa merinding padahal ini masih pagi hari. Ada hawa dingin yang aneh saat tangan Arka hampir merangkulnya.

"Maaf, kalau aku lancang. Tapi aku hanya ingin membantumu."

"Nggak pa pa kok. Gue masih bisa jalan sendiri," kata Kirana seraya membenarkan letak tas punggungnya.

Gadis itu berjalan ke arah kelasnya, namun Arka yang mengetahui itu langsung menghalangi jalannya.

Satu alis Kirana terangkat memandang bingung seseorang yang sedang berdiri menjulang di hadapannya.

"Sebelum ke kelas, mending kamu ke UKS obati dulu luka mu itu. Biar aku yang minta izin."

"Hmm," balas Kirana malas.

Kirana berbelok ke arah UKS dan mulai mengobati lukanya dengan cepat. Ia rasa Arka akan datang kesini untuk mengobatinya.

Benar saja, beberapa menit kemudian Arka sudah di depan pintu. Pria itu masuk lalu tatapan matanya tertuju ke arah lutut Kirana. Niatnya yang ingin mengobati luka gadis itu sambil modus memegang tubuh dan menyerap Cakranya secara diam-diam harus gagal total.

Gadis ini sangat berbeda, ia tak bisa dipengaruhi oleh mantranya. Sudah beberapa kali ia mencoba secara diam-diam tapi ada sebuah Cakra yang tak tahu dari mana asalnya selalu melindunginya.

Arka menggeram dan mengepalkan tangannya erat dengan pandangan lurus ke arah punggung Kirana yang berjalan dengan tertatih kembali ke kelasnya.

TBC

10 Desember 2019






Magical Story(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang