4

315 16 0
                                    


                             🏵️🏵️🏵️

"Berdirilah Gito!" Perintah Waya tegas.

"Ampuni hamba yang telah lalai dalam menjaga kitab itu, tuan." Kakek Gito masih saja bersujud ketakutan.

"Kamu berani melawan perintah ku."

"Tidak tuan."

"Maka berdirilah, saya tidak suka melihatmu bersujud kepada ku," ucapnya dengan halus.

Kakek Gito mulai berdiri dan berani menatap wajah Waya. Pembuat kitab yang selama ini dia jaga.

"Saya tahu apa yang kamu lakukan kemarin itu keputusan yang benar, menolong warga lebih penting dibandingkan dengan kitab itu. Toh kitab itu bisa melindungi dirinya sendiri." Kakek Gito lega mendengarnya.

"Namun ada kekeliruan sedikit di sini. Tanpa sadar kamu sudah menemukan pemilik kitab itu." Wajah kakek Gito menegang. Benaknya bertanya-tanya siapakah seseorang itu?

"Hamba benar-benar tidak tahu, tuan."

"Saya maklumi itu."

"Siapakah seseorang itu?"

"Pria tampan yang bersama mu, pria yang kamu panggil putra mahkota." Kakek Gito syok mendengarnya. Setelah dipikir-pikir putra mahkota tak mengalami kesetrum saat menyentuh kitab itu. Betapa bodohnya dia sampai melupakan hal yang penting.

"Kemarilah," ucap Waya yang diangguki oleh kakek Gito.

"Mulai sekarang kitab itu kamu serahkan kepada orang tersebut. Dan saya akan membuka cakra yang ada pada dirimu. Gunakan Cakra ini dengan baik, untuk melawan pemberontak itu." Tangan Waya diletakkan di kepala kakek Gito hingga sebuah sinar terpancar mengalir ke dalamnya.

Kakek Gito mengerang menahan rasa sakit yang teramat dahsyat. Kepalanya terasa hampir pecah, dalam arti yang sebenarnya. Seluruh tubuhnya mengalir kekuatan yang besar. Tubuh tuanya yang renta tiba-tiba segar kembali seperti saat muda dulu.

Waya menarik kembali tangannya kala Cakra yang ada di tubuh kakek Gito aktif. Kakek Gito sangat senang, dia mulai merenggangkan ototnya lalu melompat-lompat seperti anak kecil. Waya pun tersenyum melihat aksi kakek Gito yang lincah.

"Gito, Cakra itu akan mengalir di dalam tubuh anak cucumu. Namun akan aktif saat berumur 17 tahun. Rahasiakan kekuatan ini dari orang banyak. Jika ada yang melihatnya, kamu bisa gunakan ilmumu untuk membuatnya lupa."

"Baik, akan hamba laksanakan."

"Pulanglah dan bilang kepada putra mahkota jika besok malam pasukan itu akan datang menyerang, persiapkan lah pasukan. Gunakan cakramu untuk melindungi setiap prajurit."

Kakek Gito mengangguk semangat. Tubuhnya kembali bugar dan dia siap untuk membantu. Rasanya sudah tak sabar untuk memberitahu ini semua kepada putra mahkota.

"Sekarang kembalilah dan ikuti bola cahaya itu."

Seluruh leluhurnya menatapnya sambil tersenyum. Kakek Gito membungkuk hormat kepada mereka semua. Lalu kakinya melangkah mengikuti bola cahaya masuk kembali ke dalam labirin.

Nafas kakek Gito terengah-engah saat bangun dari tidurnya. Mimpi itu sangat nyata. Tubuhnya yang renta tiba-tiba lincah. Senyumnya mengembang mengetahui jika itu bukanlah mimpi. Buru-buru kakek Gito keluar dari tenda ingin memberitahukan berita ini. Langkahnya yang lincah tiba-tiba berhenti kala melihat putra mahkota tengah duduk melamun di dekat api unggun.

"Kebetulan sekali putra mahkota ada di sini," ucapnya sambil duduk di depan putra mahkota.

"Ada apa kakek mencari saya?"

"Saya telah mendapatkan mimpi dari sosok yang membuat kitab itu. Coba putra mahkota pegang kitab ini." Kakek Gito menyerahkan kitab itu. Putra mahkota menerimanya, nampak bebatuan yang berwarna biru menyala kala bersentuhan dengan telakak tangan putra mahkota.

"Kitab ini sudah menemukan pemiliknya, yaitu putra mahkota."

"Lalu apa yang harus saya lakukan dengan kitab ini?"

"Coba bukalah kitab itu."

"Baiklah," ucap putra mahkota mulai membuka kitab itu pelan-pelan. Halaman pertama telah tampak namun tak ada tulisan satupun. Halaman berikutnya dibuka dan hasilnya tetap sama. Kosong.

Kakek Gito dan putra mahkota mengerutkan keningnya bingung. Ini yang katanya dapat menghancurkan dunia dan seisinya. Kakek Gito menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bingung harus menjelaskan bagaimana. Dia saja tak tahu.

"Ah... Iya hampir lupa, sepertinya pasukan pemberontak akan datang menyerang besok malam. Huamm... Ngantuknya." Kakek Gito buru-buru kembali ke dalam tendanya.

Putra mahkota mengamati kitab itu. Walau tampak kosong, tapi hatinya mengatakan ada sesuatu di dalamnya.

Dimasa modern

Tidak seperti hari kemarin, Kirana tampak lesu karena teman sebangkunya tak datang ke sekolah. Al hasil dia merasa kesepian tanpa kehadiran Gigi. Gigi kini tengah berlibur bersama keluarganya di kampung halaman alm. Kakek neneknya.

Istirahat kali ini Kirana harus mengencangkan ikat pinggangnya lagi. Kalau kemarin-kemarin ada Gigi yang selalu mentraktirnya, berbeda dengan kali ini. Tak ada yang mentraktirnya. Agar tidak terlihat melamun, Kirana memutuskan untuk membaca buku LKS dan mengerjakan soal-soal yang mudah.

"Kirana rajin banget ya, ngerjain soal-soal padahal nggak disuruh," ucap seorang gadis di ambang pintu.

"Nggak heran kalo dia selalu juara kelas." Gadis yang di sebelahnya menyahut. Mereka lantas pergi keluar menuju kantin.

Telinga Kirana tidak budeg untuk mendengarkan obrolan mereka. Bukannya senang dipuji oleh mereka yang ada Kirana tampak dongkol. Bukan kepada gadis-gadis itu melainkan kepada dirinya sendiri. Kalau boleh memilih, Kirana pasti ingin lahir di kalangan orang berada. Uang saku banyak, bisa jajan apapun yang dia mau. Bukannya duduk diam di dalam kelas yang sepi mengencangkan ikat pinggang menahan lapar sambil mengisi soal. Yang dia butuhkan sekarang itu makanan bukan pujian.

***
Gigi bersama keluarganya telah sampai di kampung halaman kakek dan neneknya. Rumah ini telah lama tak dihuni namun tetap bersih terawat. Rumah berlantai dua ini tampak kokoh menjulang di daerah pedesaan yang masih asri. Sepanjang jalan menuju rumah itu terdapat kebun teh yang sangat luas milik keluarganya. Keluarga Gigi merupakan keluarga kaya raya, bukan hanya pemilik kebun teh. Tapi juga pabrik pengolahan teh hingga di ekspor ke luar negeri.

Gigi memutuskan untuk berkeliling rumah yang dulu pernah dia tinggali bersama kakek dan neneknya. Dari umur 3 sampai 10 tahun Gigi telah dititipkan kepada kakek dan neneknya karena kedua orang tuanya harus berpindah-pindah tempat saat bekerja.

Rumah itu masih sama seperti dulu, hanya saja tidak kelihatan besar. Mungkin karena dulu ia masih kecil hingga saat melihat rumah itu tampak sangat besar. Lukisan-lukisan peninggalan kakeknya masih tertata rapi terpajang di setiap lorong. Lalu Gigi beralih ke dalam perpustakaan. Di sana ia melihat-lihat buku yang menarik perhatiannya. Namun banyak debu yang menempel di sana hingga mengurungkan niatnya untuk membaca buku.

"Bik Asih tolong bersihkan buku-buku yang ada di perpustakaan kakek," ucap Gigi menghampiri bik Asih yang ada di taman.

"Baik non, bibi bersihkan."

Bik Asih membersihkan satu persatu buku dengan kemoceng. Sampai sebuah bunyi menghentikannya.

Tok... Tok...

Bik Asih mengerutkan dahinya mencoba mencari tahu apa yang berbunyi itu. Namun bunyi itu menghilang setelahnya. Bik Asih memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya tak peduli.

TBC

25 Oktober 2019

Bunyi apa itu?

Tunggu episode selanjutnya....

Magical Story(End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang