Bab 13

27.5K 2.7K 88
                                        

                " Waaah!" Aku bertepuk tangan sangat keras ketika melihat pementasan tari Bali di Amphitheatre GWK akhirnya selesai. Ini kali kedua setelah kurang lebih tujuh tahun yang lalu aku berada di tempat yang sama menyaksikan tari yang sama juga. Tari Kecak.

" Habis ini langsung pulang?" Pak Razan yang dari tadi hanya diam di sampingku akhirnya bersuara.

" Bapak udah mau pulang? Capek ya?" Aku meringis tak enak hati.

" Kamu nggak capek apa Dell?"

" Ya capek sih, cuma nggak tak buat capek. Eh gimana sih, ya maksud saya aji mumpung gitu pak. Sudah lama sekali saya nggak piknik. Jadi ya gini."

" Besok pagi kita pulang loh."

" Ya makanya, saya puas-puasin mumpung lagi di sini. Kan besok sabtu. Minggunya saya bisa tidur seharian." Aku meringis lagi.

"Tapi kalau Pak Razan udah capek, kita pulang aja nggak papa kok, pak." lanjutku kemudian. Pak Razan tampak tidak terlalu bersemangat. Mungkin dia sudah lelah. Wajar sih, tadi sisanya dia yang ngurus.

" Saya bukannya capek, saya tadi cuma tanya, mau langsung pulang atau enggak?"

" Tapi wajah bapak seperti bilang 'Dell, saya capek sekali. Habis ini langsung pulang ya?'." Pak Razan hanya tersenyum kecil ketika aku berusaha mengikuti logat bicaranya.

" Gitu ya?"

" Iya. Ya udah habis ini pulang aja pak, istirahat."

" Memangnya kalau nggak pulang, kita mau kemana?"

" Ya nggak kemana-mana sih,"

" Loh gimana sih kamu ini?"

" Nanti saya beli oleh-oleh buat Dimas di deket hotel aja."

Aku nggak enak mau bilang habis ini mampir toko oleh-oleh. Habisnya ke Bali emang buat kerja, bukan jalan-jalan. Ini aja cuma bonus karena tadi siang negosiasi kami berhasil.

" Mau beli oleh-oleh buat Dimas?"

" Iya. Dia yang nganterin saya ke Bandara. Ya mana mungkin saya nggak beliin tuh anak oleh-oleh. Bisa-bisa pas saya pulang nggak dibukain pintu. Itu anak gitu-gitu bisa sadis banget sama saya, pak."

" Ya udah, habis ini beli oleh-oleh dulu."

Seulas senyumku langsung terbit.

" Jogger ya?"

Pak Razan mengangguk dan aku langsung tersenyum lebar.

" Pak, boleh minta tolong nggak?"

" Apa?"

" Fotoin saya. Satu aja. Sayang kalau nggak foto di Amphiteatre, hehe."

" Mana hapemu."

Aku langsung membuka tas lalu menyerahkan ponselku. Aslinya agak malu sih, minta difoto kaya gini. Tapi aku nggak cukup berani minta orang lain yang fotoin.

" Nih."

" Makasih pak, hehe."

Pak Razan mengembalikan ponselku. Aku langsung membuka galeri untuk melihat hasil jepretannya.

" Bapak, ini apaan yang bagus satu aja? Yang lain blurr semua."

Ini orang satu sengaja apa gimana sih? Total yang dia foto ada lima. Satu foto pertama bagusnya macam fotografer handal. Bisa fokus dan pencahayaannya pas. Lah empat yang lain blurr semua, mana ada aku yang belum siap udah dia foto.

" Yang penting kan ada yang bagus."

" Kan nggak bisa dipilih, nanti."

Aku nggak bisa menyembunyikan ekpresi kesalku. Asli deh, kalau kalian lihat hasil jepretan Pak Razan selain yang pertama, rasanya pengen maki-maki ini orang. Jelek banget, blurr pula.

Entire Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang