Bab 16

25.8K 2.6K 129
                                    

Aku menggaruk pelipisku sejenak sebelum memantapkan diri untuk memencet bell Rumah di depanku. Rumah yang tentu masih terlihat lama sejak pertama kali aku mengunjunginya malam itu. Tanganku baru saja terulur untuk memencet bell, ketika tiba-tiba si empunya rumah keluar dan langsung tersenyum begitu melihatku.

" Saya baru mau jemput kamu,"

Pak Razan berjalan menuju gerbang lalu membukanya.

" Pakai motor saja, gimana Dell? Pakai mobil kelamaan di jalan. Apalagi ini minggu."

" Terserah bapak aja. Saya pakai celana panjang kok, jadi santai."

" Kalau kamu pakai rok, saya pasti pakai mobil semacet apapun itu."

" Kenapa, gitu?"

Pak Razan tak menjawab, hanya mengedikkan bahunya.

" Tunggu disitu ya Dell, saya ambil kunci motornya."

" Iyaaa,"

Sekitar lima menit kemudian, Pak Razan dan motor maticnya sudah berada tepat di depanku. Aku bersyukur Pak Razan nggak paki motor gede yang biasa dipakai cowok-cowok tajir. Udah ribet naiknya, duduknya pun harus membungkuk.

" Naik." Perintahnya dengan nada bossy. Padahal dia cuma nyuruh aku naik di motornya, tapi nadanya serasa nyuruh ngerjain deadline laporan. Heran.

" Eh tapi pak, nanti kalau karyawan kantor ada yang lihat, timbul polemik gimana?"

" Ya bagus lah—"

" Hah?"

" Nggak, udah buruan naik. Kelamaan mikir keburu siang."

" Iyaaa,"

Akhirnya aku naik di jok belakang setelah memakai helm yang Pak Razan berikan.

" Dell, saya bau apa gimana, duduknya jauhan gitu?"

Pak Razan akhirnya menyadari dudukku yang terlalu mojok belakang bahkan sampai menyentuh pegangan belakang motor.

" Ng-nggak sih, pengen aja."

" Jarak duduk kita berasa bisa buat main bola tau Dell."

" Hiii Lucu!" Pak Razan malah ketawa beneran, saudara-saudara. Receh banget sih, humornya?

Benar kata Pak Razan, pakai motor bisa lebih cepat sampai. Minggu gini jalanan Jogja banyak macetnya, jadi pakai motor memang pilihan yang tepat. Setidaknya bisa lebih hemat waktu, meski agak kepanasan terkena sinar matahari.

Begitu sampai mall, Pak Razan memarkir motornya di basement. Heran ya, belanja bahan makanan harus banget di mall? Habisnya kami cari yang paling dekat dengan rumah Pak Razan. Kami juga menghindari jalan searah, karena nanti muternya bisa jauh banget. Toh sebenarnya harga bahan makanan di mall dan supermarket bedanya nggak terlalu jauh. Masih bisa dibilang wajar.

Oh iya, kalau dipikir-pikir, sebenarnya aneh banget nggak sih, aku nganter Pak Razan belanja kaya gini? Dia ini bosku loh!

" Dell," Aku terhenyak ketika tiba-tiba sebelah tangan Pak Razan dengan santainya nangkring di pinggangku. Saat ini kami bahkan masih di area tempat parkir.

" Pak-!" Baru saja aku ingin menggeplak tangannya agar menyingkir, Pak Razan sudah terlebih dulu mengarahkan kepalaku kearah kiri, agak nyerong ke belakang.

Shit! Mereka lagi!

" Kita kabur pak, sebelum mereka lihat kita."

Aku hendak menarik Pak Razan pergi, namun Pak Razan malah menahanku. Di belakang sana ada dua setan jadi-jadian yang sepertinya sedang berjalan ke arah kami. Pasti sudah paham kan, mereka siapa?

Entire Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang