.
.
.
" Kamu bilang kamu tidak sanggup berpura-pura di depan mama saya lagi. Bagaimana kalau kita buat kepura-puraan itu menjadi sebuah kenyataan?"" Haaaaa? Maksudnya?"
Ketika aku menoleh, hidung mancung itu menusuk pipiku.
Ini maksudnya--- gimana?
----
" Pak, ini hidungnya-" Tanpa sadar tanganku meraba hidungnya yang barusan sempat menempel di pipiku. "Waaah, bisa semancung ini." Aku menggumam.
" Dell--!" Suara Pak Razan tertahan. Dia melepas tangannya dan menatapku penuh dengan keheranan.
" Kenapa?"
" Wah—kamu ini?"
" Saya, apa?"
" Kamu lebih tertarik dengan hidung saya, daripada kata-kata saya?"
" Eh, gimana?"
Aku menggaruk pelipisku sejenak lalu mengetuk kepalaku beberapa kali. Bukan, ini bukan mimpi.
" Dell,"
" Sebentar. Biar saya perjelas dulu. Barusan bapak bilang kalau kepura-puraan yang tadi pengen jadi kenyataan, gitu?"
" Hm,"
" Saya nggak salah dengar?"
" No," Pak Razan menggeleng.
Aku maju satu langkah lalu berjinjit dengan tangan terulur ke atas untuk menyentuh dahi Pak Razan.
" Nggak panas." Aku menggumam heran. "Eh tapi agak anget, sih." Lanjutku kemudian. Karena memang, tanganku belum mengingkir dari dahi Pak Razan.
" Dell--?!"
" Bapak kelelahan kayaknya, makanya ngomongnya ngelantur." Aku menurunkan tanganku sambil meringis.
" Kamu--!"
" Selamat malam pak! Makasih untuk ini. Hehe." Aku nyengir sambil menunjukkan satu kotak tupperware berisi kue ringan buatan ibu Pak Razan. Detik berikutnya aku langsung membuka gerbang lalu masuk.
" Della!"
" Mampirnya kapan-kapan saja pak. Dimas lagi ada study tour sampai rabu!"
Balasku sambil melambaikan tangan sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam rumah.
" Awh!"
Aku terduduk lemas di lantai begitu menutup pintu dan menguncinya. Aku memegangi dada atas sebelah kiri dengan mata terpejam.
Kira-kira Pak Razan serius dengan kata-katanya atau hanya karena dia terbawa suasana karena seharian ini aku sukses memainkan peran sebagai pacar gadungannya?
***
Dua hari kemudian.
Aku menyisir rambutku dengan tangan setelah berantakan gara-gara habis makai helm. Aku menghembuskan napas beberapa kali untuk menetralkan jantungku. Entah kenapa sejak pertama kali mematikan mesin motor, jantungku mulai nggak karuan. Rasanya nggak siap ketemu Pak Razan, yang kemarin lusa aku tinggal gitu aja di depan gerbang.
" Selmat pagi, perkedel kesayangan Abang Reno." Tiba-tiba ada tangan nempel di pundakku dengan santainya
" Eh Ren, aku cantik nggak?"
" Hah?"
Reno melongo lalu melepas tangannya. Dia menatapku dari atas sampai bawah. Aku juga nggak tau kenapa, aku hanya ingin menanyakan pendapat Reno mengenai penampilanku Udah, gitu aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Entire Love (END)
Fiction généraleArdella Ayuning Putri (Della) dikhianati pacar sekaligus sahabatnya. Radit dan Rere, dua orang yang sangat dia sayangi, justru menghancurkan kepercayaannya hingga berkeping-keping. Di saat Della melampiaskan kekesalannya di atap hotel, dia bertemu...