Bab 21

28.2K 2.6K 122
                                        

"Pagi Pak Kirno!" Sapaku pada bapak-bapak yang kira-kira berumur empat puluhan tahun, yang saat ini sedang menyapu halaman kantor.

" Wah pagi juga Mbak Della. Tumben ini, masih jam tuju lewat sedikit kok sudah datang?"

Aku nyengir. "Biasa, lagi rajin saya pak. Duluan ya pak,"

" Iya mbak."

" Oh iya pak, liftnya sudah dinyalakan kan?"

" Dari jam enam sudah saya nyalakan mbak."

" Oke."

Aku setengah berlari naik ke lobi lalu berjalan cepat ke arah lift. Hari ini aku sengaja berangkat lebih pagi -bahkan terlalu pagi- untuk menghindari Pak Razan. Gara-gara insiden kemarin, rasanya jadi canggung baget kalau nanti ketemu.

Jujur, aku tuh masih bingung sama mau dia itu apa. Maksudku, kalau memang dia serius, ya ngomong lah yang jelas biar aku paham. Aku terlalu takut kalau pada akhirnya hatiku hanya dipermainkan. Melihat tingkahnya yang selama ini kadang baik tapi bisa juga tiba-tiba berubah jadi super menyebalkan, membuatku bingung untuk mengartikan semuanya.

" Pagi Ardella, semangat banget mau ketemu saya sampai jam segini sudah berangkat?" Aku berjengit ke samping ketika tiba-tiba sebuah tangan menyela-nyela jari tangan kananku.

" Ba-bapak?" Mataku melotot tak percaya melihat Pak Razan sudah berdiri menjulang di sampingku.

" Selamat pagi juga, harusnya kamu jawab gitu."

" Dih, amit-amit!" Aku menepis keras tangannya namun gagal.

" Pak, nanti ada yang lihat!" Aku celingukan untuk memastikan apakah ada orang atau tidak di sekitar kami.

" Bagus lah, sekalian kasih pengumuman-"

" Pak! Lepasss-in!"

Berhasil. Kali ini aku berhasil melepaskan genggaman tangannya lalu melotot garang.

" Kamu sukanya main kasar ya Dell?"

Aku menggeram sebentar sambil memejamkan mata.

" Terserah."

Ting!

Pintu lift terbuka dan aku buru-buru masuk.

" Stoppp! Bapak ikut yang selanjutnya-"

Oh ya ampun! Pak Razan malah masuk dan menggendeng tanganku lagi.

" Pak, tolong lah ya, saya nggak mau jadi bahan gosip."

" Kamu nggak mau kena gosip sama saya? Kapan lagi kamu digosipin sama laki-laki setamp-"

" Tampol nih!"

Pak Razan terkekeh lalu mengeratkan genggaman tangannya. Asli, benar-benar minta di buang ke kutub selatan, ini boss kampret satu.

" Please lah pak, pleaseee bgt asli pak. Saya nggak mau digosipin. Apalagi hubungan kita kan sebatas atasan sama bawahan. Andai bapak menganggap beda sekalipun, kita tetep nggak jelas statusnya. Nanti-"

" Nggak jelas, kamu bilang?"

Aku hendak menjawab, namun lift keburu terbuka. Pak Razan menarikku keluar dan kami berdiri berhadapan di dekat pintu ruangan divisi kami.

" Iya lah, kecuali atasan dan bawahan, tentu saja."

Pak Razan diam sejenak lalu menatapku lurus-lurus.

" Sepertinya kita bukan di umur yang mana ketika ingin menjalin sebuah hubungan, yang cowok harus bilang 'kamu mau nggak, jadi pacarku?' terus yang cewek jawab 'iya, aku mau. Mau bangeeet. Pokoknya mauuuu banget.' Nggak harus gitu kan?"

Entire Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang