Bab 7

31.1K 2.9K 78
                                        

Aku mengerjapkan mata sambil menepuk pipi untuk kesekian kalinya agar rasa kantukku segera hilang. Padahal belum ada jam sembilan, tapi mata udah nggak bisa di kompromi.

Kruyuk!

Nah, perut juga ikut-ikutan menyuarakan protesnya karena aku memang belum memberi jatah makan malam. Tadi sehabis pulang kerja, aku segera mandi lalu membuka laptop lagi. Aku pikir aku bisa bertahan setidaknya sampai jam sepuluh, tapi ternyata ini bahkan belum jam sembilan dan mataku sudah pengen merem.

Kruyuk!

Sekali lagi perutku berbunyi. Oke, aku menyerah. Aku harus segera turun ke dapur mencari makanan.

" Sepinyaaa," Gumamku sambil menuruni tangga. Aku baru tahu beberapa menit yang lalu kalau Ayah sama ibuku tidak pulang malam ini. Mereka memutuskan untuk menginap di rumah bulek di Condongcatur.

Sedangkan Dimas, anak itu masih belum pulang karena di culik boss kampret. Aku tertawa sumbang mengingat kalimat terakhirnya sebelum tadi aku beranjak pulang.

Jadiin Dimas adik ipar?! Mimpi kali ah!

Aku berjalan menuju lemari dapur dan mencari apakah ada mie instan yang tersisa. Ibukku jarang sekali membeli mi instan, tapi bukan berarti beliau tidak pernah membelinya. Beliau bilang, kami -maksudku entah itu aku, ayah atau Dimas- boleh makan mie instan dengan syarat kalau keadaan lagi darurat aja. Dan sekarang, kondisiku bukan darurat lagi, tapi hampir sekarat.

Oh oke, aku mulai lebay.

" Entah apaaa, yang merasukimuuu. Hingga kau tega menghianatiku---" Aku mulai bersenandung nggak jelas sambil menyalakan kompor dan meracik bumbu mie instan. Rasa-rasanya lagu itu sangat cocok dengan kondisiku saat ini. Apa jangan-jangan lagu ini viral karena penulisnya tahu kalau aku habis dihianati? Haha, ngaco banget!

Sekitar sembilan menit lebih lima puluh sembilan detik berikutnya, aku tersenyum puas karena mie-ku sudah matang. Aku menghirup aroma surgawi itu dengan perasaan bahagia. Jujur deh kalian, kalau lagi lapar-laparnya, terus nyium bau indomie goreng, pasti rasanya perut langsung bergejolak minta dipuaskan. Iya kan, iya kan?

" Mbak Della, ibuk sama ayah mana?"

Eh?

Aku tersadar dari mabuk gara-gara indomie goreng di tanganku. Dimas sudah berdiri beberapa meter di depanku sabil menatapku tanpa ekpresi.

" Ibu sama ayah mana, mbak?"

" Nggak pulang. Nginep di rumah bulek."

" Oh, pantesan sepi."

Aku mengedikkan bahu tak peduli lalu berjalan melewati Dimas untuk membawa indomie goreng naik ke kamarku. Aku tak mengkhawatirkan air minum karena di nakas tempat tidurku selalu tersedia teko kecil berisi air putih. Aku emang kalau minum macam onta, banyak banget.

" Jadi begini penampilan kamu dirumah?"

Eh ada suara mahluk halus.

" Siapa?"

Mataku mendelik kaget ketika aku beneran melihat mahluk halus lagi duduk di sofa ruang tamuku. Eh tapi sejak kapan mahluk halus bisa seganteng itu? Yang ada bukannya kabur, malah justru menghampiri dengan suka rela.

Gini nih, kalau lagi lapar otak seorang Ardella suka mendadak konslet.

" Bapak sejak kapan di situ?" Tanyaku sambil menatapnya horor.

" Sejak kamu menghirup mie goreng seperti menghirup parfum harga jutaan."

Aku mencibir. Bahkan bau mie goreng lebih menggoda daripada parfum harga jutaan, setidaknya untuk saat ini.

Entire Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang