Bab 25

30.6K 2.8K 147
                                        

Pokoknya harus vote dan komen lhooo...

Hatinya sudah siappp? Yuk mariii... wkwkwk

------------------------

"A-a-aawh! Pelan-pelan Dell," Pak Razan meringis untuk kesekian kalinya ketika aku mengompres dahinya yang benjol akibat tasku yang melayang mengenai dahinya.

" Lemah banget sih! Baru juga gini." Aslinya aku ingin minta maaf, tapi gengsi dong. Kan lagi marahan awalnya.

" Ini gede loh benjolnya. Bayangkan tas kamu yang bahannya keras gitu, sudutnya ngenain dahi saya keras banget."

" Ya salah siapa sok sok manggil gitu. Dih!"

Kali ini Pak Razan tertawa kecil.

" Nggak ada yang lucu!" Ketusku.

" Iya, emang nggak lucu, tapi lucuuu banget." Kali ini tawanya makin keras.

" Kompres sendiri!" Akhirnya aku melempar es batu yang aku lapisi dengan sarung tangan ke pangkuan Pak Razan.

" Eittts! Sensi bener kenapa sih?"

Pak Razan berhasil menarikku untuk duduk kembali.

" Tadi kamu belum jawab kenapa bisa sampai jambak-jambakan sama Rena?"

" Ralat, Rena yang jambak saya, saya nggak balik njambak dia." Jawabku sambil memalingkan wajah. Asli kalau ingat kejadian tadi itu rasanya pengen nendang Rena ke kandang singa.

" Oke, Rena jambak kamu dan kamu nggak membalas. Tapi pasti ada alasan dong, dia jambak kamu?"

" Gara-gara bapak itu!"

" Oh ya? Kamu sama Rena rebutan saya?"

" BIG NO!"

" Terus?"

Ini orang satu juga malah sengaja ngungkit-ngungkit.

" Ya tadi itu si Rena bilang, katanya saya caper sama bapak. Katanya saya itu udah boncel, bodi pas pasan, berani-beraninya caper ke bapak. Taulah saya, badan dia emang tinggi semampai sama itunya gede kaya bola bas—" Aku segera mengatupkan mulutku ketika sadar aku hampir saja keceplosan.

" Hmpfffft!!!"

" Saya nggak lagi ngelucu!"

Bukannya berhenti, tawa Pak Razan kali ini benar-benar pecah.

" Ya ampun Dell, kamu kalau lagi ngedumal gitu bikin saya pengen karungin kamu terus bawa pulang ke rumah."

Aku melotot dan itu sukses membuat tawa Pak Razan memelan.

" Oke, oke, saya berhenti. Jadi alasan utama Rena jambak kamu, kamu balas ngejek dia?"

" Enggak. Saya nggak ngejek dia. Ya pokoknya saya bales kata-kata dia, tapi bukan dengan ejekan. Eh dia marah, langsung main jambak."

" Saya minta maaf atas nama dia, ya?"

" Nggak perlu! Udah dipecat juga."

" Oke—"

" Emang bapak nggak nyesel pecat dia?" Potongku cepat.

" Kenapa harus nyesel?"

" Ya kan lumayan buat cuci mata tiap hari." Aku menatap ke sembarang arah menghindari tatapan Pak Razan yang dari tadi terus menatapku dari samping.

" Oh saya mulai mengerti maksud kamu. Perlu kamu tahu ya Aredella, nggak semua laki-laki suka perempuan seperti Rena, yang dengan gampangnya pamer badan seperti itu. Sudah dari dulu saya ingin memecat dia, tapi saya hanya tak memiliki alasan kuat. Teguran saya juga tidak mempan. Saya bersyukur dengan kejadian tadi, saya jadi ada alasan bisa pecat dia dan tidak melihat dia lagi di kantor."

Entire Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang