Bab 33

29.7K 2.6K 113
                                        

'SAH'

Kata itu masih terngiang terus di otakku. Satu kata yang merubah statusku dari yang tadinya single jadi menikah. Dari yang tadinya apa-apa sendiri harus mulai rela berbagi. Jujur saja, hari ini rasanya seperti mimpi. Dan andai ini benar-benar mimpi, aku tidak ingin bangun. Hoho!

Hari ini rasanya sangat panjang sampai rasanya aku tidak bisa menceritakan detailnya pada kalian. Pada intinya semua berjalan lancar dan yang paling membuatku lega setengah mati adalah ijab qabul yang selesai hanya dalam satu tarikan napas. Huhu!

Dan sekarang disinilah aku, berdiri di depan gerbang rumah 'baru' sambil melambai ke arah mobil ayah yang mulai terlihat mengecil karena jarak yang semakin jauh.

" Ayo masuk." Satu tangan besar mendarat di bahu kiriku. Aku mendongak dan tanpa sadar aku sedikit menelan ludah, canggung.

" I-iya."

Aku menarik koper kecil sementara Pak Razan menarik koper yang berukuran besar. Eh boleh nggak sih manggil suami pakai pak? Sebenernya aku mulai membiasakan manggil mas sejak resepsi tadi. Tapi rasanya masih canggung banget.

" Dell, kamarnya diatas." Pak ---eh Mas Razan menahan tanganku ketika aku hendak berjalan ke arah kamar yang beberapa bulan lalu pernah aku masuki. Oke, mulai sekarang aku harus benar-benar membiasakan diri manggil mas, bukan pak. Panggilan pak hanya berlaku ketika kami di kantor.

" Eh pindah?" Tanyaku bingung.

" Iya. Yang diatas lebih luas, ranjangnya juga lebih gede. Sengaja emang mau dipakai kalau aku udah punya istri."

Aku menggaruk pelan pelipisku. Kok Mas Razan nggak ngerasa canggung sama sekali ya? Okelah, kami memang udah bisa dikatakan pacaran dulu sebelum menikah meski hanya sebentar, tapi di luar itu hubungan kami hanya atasan dan bawahan, tidak lebih. Tetap aja aku masih ada rasa sungkan juga segan. Ih gimana ya bilangnya?

" Kok malah diem aja?" Mas Razan mendekat lalu tersenyum sambil menjentikkan jarinya ke dahiku, pelan.

" Kenapa hm?"

" M-mm---"

" Mmmm apa?"

" Bapak nggak canggung apa?"

" Bapak?" Mas Razan tertawa. Tuh kan, ternyata susah banget pas ngomong langsung. Padahal tadi udah agak lancar aja waktu resepsi aku bolak balik manggil dia pake panggilan mas. Sekarang kok rasanya balik canggung lagi.

" Say—"

" Aku."

" Oke, aku masih ngerasa aneh. Bap—"

" Mas. Kamu sendiri yang minta buat manggil aku mas." Lagi lagi kalimatku langsung diralat.

" Iyaaa ih. Bentar, masih belum terbiasa."

" Dibiasain lah."

" Hm oke. Ini kita beneran tidur di lantai dua m-mas?" Tanyaku.

" Iya. Kan udah aku bilang, diatas ranjangnya lebih luas. Kamu udah pernah lihat kan, ranjangku yang dikamar itu nggak begitu lebar?"

Aku mengangguk.

" Memang muat juga, kalau buat tidur kita berdua, cuma jadi sempit aja. Aku takut kamu nggak nyaman." Mas Razan merangkul bahuku dan mengajakku naik.

" Emang segede apa ranjang yang di atas?"

" Cukuplah buat main futsal." Selorohnya santai. Mau nggak mau aku jadi terkekeh mendengar itu. Ya kali ranjangnya seluas lapangan futsal, orang rumah ini aja agak minimalis.

Eh aku pernah bilang nggak sih, kalau rumahnya Mas Razan ini nggak begitu besar, tapi dilihat dari sudut manapaun, rumah ini tampak mewah? Rumahnya bukan tipe rumah yang besar dan luas seperti milik orang kaya kebanyakan. Hanya saja setiap orang yang lihat rumah ini pasti tahu, yang punya rumah pasti orang berduit.

Entire Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang