(10)

729 87 1
                                    

Pikiran tentang lelaki misterius itu masih menghantui dan membuat sisa hariku jadi kacau. Aku ingin bertemu Don untuk menagih janjinya, sekaligus mengonfirmasi omongannya tadi siang.

Sampai jam makan malam usai, Don masih belum tampak batang hidungnya, sementara dadaku kian bergemuruh. Daripada aku hanya mondar-mandir nggak jelas di kamar, kuputuskan untuk mengikuti petunjuk yang ditinggalkan orang itu. Setelah berganti pakaian, aku memasang earphone dan menyetel musik dari ponsel yang kutaruh di lengan, lalu menyambar jaket bertudung.

"Hei, Adik Kecil! Mau ke mana?" tanya Andres begitu melihatku turun.

Aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Marlon juga yang tengah menatapku. "Cari angin," sahutku asal tanpa berhenti.

"Mau lari? Ditemani, ya?" tanyanya lagi. Andres bangkit dari posisinya, begitupun Marlon.

"Pakaian begini masa mau renang? Nggak usah!" ketusku sambil lalu. Aku nggak mau ambil pusing Andres dan Marlon yang tengah berdebat di belakangku.

Aku mengambil 'jalan tikus' untuk keluar dari rumah, biar tak perlu berputar. Orang awam tidak akan menyadari keberadaan rumah ini. Bahkan mereka berpikir duniaku ini hanya ada di luar negeri dan film-film rekaan saja. Mereka akan terkejut jika betapa besarnya dunia gelap dibanding yang terang. Begitu besarnya hingga kegelapan itu bisa menelan cahaya.

Rumah ini berada dalam kawasan niaga yang super sibuk di siang hari. Salah, jika mengira tempat tinggal kami berada di tempat yang terpencil. Tempat yang berbahaya adalah tempat paling aman untuk bersembunyi.

Pukul 21.40 aku sudah sampai di tempat yang ditunjuk orang itu. Meski malam semakin larut, tapi keriuhan di tempat ini tak kunjung pudar. Lima belas menit sudah berlalu dan belum ada tanda-tanda keberadaannya, bahkan petunjuk terakhir pun belum kupecahkan. Sudah dua kali kukelilingi wilayah ini dan tidak ada patung bercat emas.

Pengunjung mulai kembali satu per satu, begitu pun dengan para pedagang yang sudah merapikan lapaknya. Mataku terpaku pada kumpulan anak muda yang melumuri dirinya dengan cat perak.

"Chiara bego!" makiku sambil menepuk jidat.  Aku bergegas menghampiri mereka. Di sana ada dua kelompok, masing-masing terdiri dari dua orang. Kelompok yang satu sedang membereskan peralatan dan berbincang, mungkin mau pulang. Sementara kelompok lainnya masih melayani pengunjung yang meminta untuk berfoto. Dua sahabat dan dua musuh, gumamku sembari menyelidik dua kelompok itu.

Sebuah panggilan masuk ke ponselku. Kali ini hanya rangkaian nomor tanpa nama. Belum juga kuputuskan akan menerima atau mengabaikannya, sambungan terputus.

Aku dikejutkan oleh tepukan seseorang. Bukan karena sentuhannya yang tiba-tiba, tapi karena sosoknya. Patung perak yang tadi bercengkerama, kini ada di hadapanku.

"Maaf, Mbak! Kaget, ya? Saya cuman mau ngasih ini," katanya sambil menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang, yang tertutup rapat. "saya permisi, Mbak Chiara," pamitnya sambil balik kanan.

WHAT?!

"Eh, tunggu!" seruku dan patung orang itu berbalik, "siapa yang kasih ini? kamu tahu nama saya dari mana?" cecarku.

"Nama Mbak ada di paketnya. Saya nggak kenal siapa yang ngasih, berhubung bayarannya lumayan, ya saya mau aja," terangnya santai. Aku memperhatikan gesture tubuhnya selama menjawab dan tidak ada kebohongan di sana. "Ada lagi, Mbak?"

Aku menggeleng. "Nggak. Makasih, ya. Eh, orangnya mana yang ngasih?" dia menggeleng dan aku mengangguk.

Tiga puluh menit berikutnya, aku masih belum mendapatkan apa-apa. Tidak ada sosok atau kejadian yang mencurigakan. Bahkan sampai keadaan benar-benar sepi, aku tak menemukan petunjuk lainnya.

Aku tidak perlu menunggu sampai di rumah untuk mengetahui isi kotak itu. Pinggir trotoar pun jadi untuk membukanya. Tepat saat kubuka bungkus terluarnya, terdengar suara teriakan dan keriuhan dari kejauhan. Sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi melesat hingga melewatiku.

Decitan ban beradu aspal yang membuat ngilu telinga, juga bau hangus menyelimuti udara. Sesaat setelah motor itu lewat.

"Heh! Ngapain kayak gembel di situ? Cepetan naik!" perintah pengendara motor tadi. Dia kembali! Melihatku masih bergeming, orang itu membuka kaca helmnya, "LO MAU MATI? BURUAN!!" teriaknya.

"Hiro!" Pekikku. Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat ke atas motor, dan kendaraan itu melaju seperti sedang balapan di sirkuit. "Mereka siapa? Lo kenapa lari?"

=================================

Ecieeeee yang bingung mecahin teka-teki yang ada di CLS.
.
Mau aku kasih tau nggak? Kaga usah malu kalau mau. Demi kebaikan hatiku (uuueeekk) akan kukasih tau kok.
.
Tapiiiiii setelah 3k viewer yaaaak  hohohoho (niat kaga buat ngasih tau?!)
.
Bisa apdet part ke-3 sebelum tengah malam gak yaaa??
.
Wish me can do it. See yaaaa.
.
San Hanna

Chiara's Little Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang