(5)

831 99 14
                                    

Suara dentuman kembali menyalak, disusul jerit histeris para tamu. Hartono sudah dikelilingi ajudannya dan sedang digiring ke speedboat yang sudah disiapkan. Tetamu pun berhasil dinaikkan ke kapal yang dikemudikan Roy. Luna melaporkan keadaan dari atas kapal.

"Tunggu! Izinkan saya ikut, Pak!" ibaku dengan bibir bergetar. Aku memegang dada sambil berusaha mengatur napas yang terengah. Seorang pengawal menatapku penuh selidik. "Mereka meninggalkan saya. Kapalnya sudah pergi. Saya takut. Tolong ajak saya."

Hartono menepis tangan pengawal yang mencegahnya, lalu melangkah mendekatiku. Aku ingin mencungkil matanya saat menatapku seperti serigala lapar.

"Jangan kurang ajar!" hardikku saat salah satu pengawalnya ingin memeriksa tubuhku.
"Maaf, Nona! Saya menjalankan prosedur keselamatan Bos."

"Dalam pakaian seperti ini, kamu pikir apa yang saya sembunyikan, hah?" aku menegaskan gaun putih yang melekat pas di badan, serta basah di beberapa bagian. "Ini!" aku menyodorkan ponsel hitamku, "hanya benda itu yang saya bawa, yang lainnya mungkin sudah hangus sekarang."

Pengawal itu mengambilnya, tapi langsung direbut oleh Hartono, lalu mengembalikannya padaku. "Apa yang harus ditakutkan dari sebuah gadget," tuturnya pongah, "silakan Nona ...."

"Chiara. Nama saya Chiara."

"Silakan Nona Chiara. Maaf saya tidak bisa mengenali seluruh tamu dengan baik," katanya sambil menundukkan kepala. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum.

Kapal miliknya berukuran lebih besar dari yang kutumpangi siang ini. Bagian bawahnya luas dan dilengkapi furnitur serba putih. Aku menyapu sekitar dengan cepat. Pengawalnya menyebar ke beberapa titik, ujung tangga, pintu, dan seorang tepat berada di belakangku.

Hartono menyodorkan minuman berwarna merah dalam gelas Kristal.

"Maaf, Pak! Saya tidak minum. Apalagi perut saya terasa mual." Aku membekap mulut dan berpura-pura ingin muntah.

"Hei! Kamar mandi di sana," ucapnya cepat sambil menunjuk sebuah pintu.

Waktuku kurang dari tiga puluh menit untuk menyelesaikan misi. Biasanya waktu yang kubutuhkan kurang dari itu, jika aku berada di tanah. Aku benci air. Awas saja kalau Don tidak memberikan petunjuk yang setimpal.

"Boleh minta air mineral, Pak?" pintaku sesaat setelah keluar dari kamar mandi.

Hartono hanya menjentikkan jarinya, kemudian seorang pengawal mengambilkan apa yang kuminta dari minibar, dan menyerahkannya padaku.

"Sudah lebih baik?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Jangan panggil saja Pak, panggil saja Mas. Sini!" Hartono menepuk sofa di sisi kirinya. Ponselnya berdering sekali dan dia langsung menerimanya, sementara aku mengatur emosi.

Berikutnya aku yang akan berpura-pura mati dan biar Luna yang melakukan pekerjaan ini. Tanganku gatal ingin menembak lelaki hidung belang itu. Dia terus melempar senyum dan menatapku seolah-olah ingin melahapku.

Hartono melempar ponsel ke samping tubuhnya. "Sini! Apa perlu saya gendong?"

Berani menyentuhku sedikit saja, akan kupatahkan jari-jarimu.

Aku mendekat dan duduk tepat di tempat yang diinginkannya. Hartono mulai menunjukkan gelagatnya. Dia melepas jas dan melemparnya sembarangan, kemudian melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Aku terpaksa harus menahan bibir ini mengembang saat melihatnya.

Bagian depan pakaiannya sudah terbuka dan perut buncitnya mengintip. Dia mendekatiku sambil tersenyum.

"Pak, eh Mas! Jika saya jadi Anda, saya tidak akan melakukannya."

"Kenapa?" tanyanya tanpa menjauhkan jarak dariku.

Aku mendekat dan berbisik padanya, "Karena saya tidak ingin kejadian berikutnya dilihat oleh anak buah saya," ucapku sambil melirik ke pengawal-pengawalnya.

Hartono tertawa, "Apapun untukmu, Sayang." Dia bangkit dan berbisik pada para pengawalnya. Sementara itu, aku mulai melancarkan aksi. Kuambil ponselnya dan membuka kunci pengamannya. Tak sulit melakukan itu. Aku meletakkan ponselku di dekat ponselnya. Proses menindahan data hanya butuh satu menit.

Proses baru lima puluh persen dan Hartono berbalik. Kali ini aku yang menghampirinya. "Saya bukan gadis biasa," kataku sambil mendorong tubuh Hartono hingga terjatuh di sofa, "saya yang mengendalikan permainan. Saya tidak suka berada di bawah," ucapku sambil melebarkan kaki Hartono.

Cloning complete. Aku bisa melihat dengan jelas notifikasi di layar ponsel. "Jangan bergerak, Pak! atau kesenangannya berakhir saat ini juga," ancamku saat tangannya ingin menyentuhku.

Hartono tertawa lagi.

=================================

Yeaaaaay berhasil update CLS lagi.
.
Ada bingung? Kenapa Luna yang tertembak dan mandi darah, justru  bisa menyelamatkan para undangan?
.
Cieee... Ada yang nyekrol lagi.
.
Eh, siapa yang nembak Luna, ya? Terus, si Chiara mau ngapain tuh?
.
Jawabannya di next part yaaaa. See yaaaaa.

Chiara's Little Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang