(54)

441 60 5
                                    

Marlon yang lebih dulu melangkah maju. Pemandangan yang tampak bisa dibilang aneh, untuk acara penculikan dengan risiko. Don tampak duduk santai di atas kursi tinggi dekat mini bar. Tidak ada ikatan di tangan dan kakinya. Tidak ada penutup di mata dan mulutnya. Bahkan, ada segelas minuman di dekatnya. Aku melirik Marlon dari ekor mata, tapi dia seperti tak memperhatikanku. Tatapannya berputar antara Bara dan Luna.

"Jangan bingung dong, Chiara," tutur Luna. "Gue tau apa yang ada dipikiran lo sekarang. Kenapa Don nggak diikat? Kenapa mata dan mulutnya nggak ditutup? Kenapa dia kelihatan dengan reuni dengan teman lama? Dan kenapa-kenapa lainnya? Iya, kan?" Luna mendelik padaku. Tatapan sinis dan penuh kebencian. Luna mendekat. "IYA, KAN!" hardiknya dengan mata melotot dan panah yang terarah padaku.

Marlon berteriak sementara Don menggerung.

Bara tertawa lagi. Dia mengambil tempat di sisi Don. "Kenapa diam saja?" tanyanya bernada mengejek. Aku pun memperhatikan Don yang terus bergeming di posisinya. Bokongnya seperti dipaku di kursi itu. Dia bahkan tidak bersuara seperti biasanya. Bara menepuk-nepuk pundak Don. Sepintas lalu, aku melihat Don mengernyit setiap kali Bara menyentuh bahunya. Tunjukkan kemampuan seorang Danu, yang selalu berkata "Done” dalam setiap misinya, hingga mempunyai nama julukan Don.”

Danu? Rasanya nama itu tak asing. Kapan dan di mana aku mendengarnya, aku tak ingat sama sekali. Tapi, nama itu familier bagiku.

"Danu. Danu. Mana aksi heroikmu tempo hari?" Bara menekan bahu Don. Kali tampak jelas raut kesakitan dari wajah Don. Aku tak tahan melihatnya.

"STOP!" jeritku, "apa sih yang kalian inginkan?" tanyaku.

Luna menurunkan busurnya. Dia medekatiku dengan angkuh. "Keinginan kami? Mau tau aja atau mau tau banget?" tanyanya dengan senyum mengejek. Tangannya dengan cepat melayang ke wajahku. Nyaris saja pipiku akan bercap lima jarinya, jika aku telah sedetik menangkisnya. Wajah Luna mengeras. Dia terlihat bengis. Luna yang manja dan feminin, yang kukenal selama ini, lenyap.

"Refleks yang bagus." Bara bertepuk tangan. Luna menyunggingkan senyum, tapi sorot matanya seperti ingin membunuhku.

"Kita lihat! Siapa yang paling bagus refleksnya." Begitu selesai bicara, Luna langsung menyerangku membabi-buta. Dia terus melancarkan pukulan dan tendangan. Sejauh ini aku masih bisa menghindarinya. "LAWAN GUE!" jeritnya tanpa menghentikan serangan.

Aku melihat Marlon bergerak. "Hei, Anak Muda! Jangan coba-coba ikut campur. Atau kuledak dia," ancam Bara.

Konsentrasiku buyar saat melihat telunjuk Bara mengarah ke Don. Pukulan Luna mengenai tulang pipiku dengan telak. Tubuhku menghantam dinding bungker. Rasa panas menjalan di wajahku, dan menyusul rasa nyeri yang berdenyut.

Sambil menggelengkan kepala, aku berusaha bangkit. Belum juga berdiri tegak, Luna menendang perutku hingga tubuhku terpental. Marlon berteriak agar aku melawan. Don juga menggerung lebih kencang.

"Lawan dia!" pekik Marlon.

Luna mendekatiku yang masih berlutut memegangi perut. "Lo takut sama gue?" Luna menarik rambutku. Kuikuti pergerakkannya untuk meminimalisir rasa sakit di kulit kepala.

"Lo itu keluarga gue, Lun. Gue udah anggap lo saudara gue. Nggak mungkin gue mau ngelawan lo." Luna malah tertawa. Tawa yang dibuat-buat, tapi aku merasakan getir di dalamnya. Tawanya berhenti dan wajahnya kembali bengis. Aku menjerit saat dia menarik rambutku lebih kencang. Kuentak tangannya hingga terlepas dari rambutku, yang menyisakan nyeri di kulit kepala. Cukup banyak rambut yang tercabut karena gerakan tadi.

"Keluarga? Persetan sama keluarga. Lo semua bukan keluarga gue." Luna mengibas-ngibas tangannya. Rambut-rambut itu berjatuhan. "Tadi lo tanya, kan, apa mau gue?" tanyanya pelan dan datar. "BALAS DENDAM," pekiknya, "sama lo." Suaranya kembali pelan.

=================================

Iiiiih... Gemes deh sama Chiara. Mau-maunya digituin sama Luna. Kenapagak diajak duel aja sih.

Chiara's Little Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang