(42)

449 58 5
                                    

Kenapa perasaan kayak gini malah muncul sekarang? Kepalaku jadi nggak bisa diajak kerja sama. Parahnya, aku merasa ada rongga yang menganga di dada. Aku benamkan kepala dalam lipatan tangan di meja gazebo. Kubiarkan embusan angin malam membungkusku.

"Gue cariin lo ke mana-mana, nggak taunya malah di sini." Aku memalingkan muka dari sumber suara, menyeka sudut mata. "Lo kenapa? Kok nangis? Lo sakit?" Luna bertanya seperti senapan mesin yang memuntahkan peluru. Luna terus bertanya meski aku sudah berusaha keras menghindarinya. Setelah kejadian Mbak Tata, aku harus lebih berhati-hati dengan orang lain. Siapa pun itu. “Kenapa sih, orang-orang jadi aneh? Oke, Don sama Andres emang lagi pada sibuk, tapi Marlon sama Hiro, ngilang gitu aja, kayak lenyap ditelan bumi. Terus sekarang elo.”

"Marlon sama Hiro, ngilang? Udah dicari?"

"Lo pikir mereka lagi main petak umpet? Udah dua hari mereka nggak pulang dan susah untuk dihubungi." Luna menyandarkan punggungnya ke tiang gazebo. "Gue ngerasa kesepian, Chi." Aku mengernyit mendengar ucapannya barusan. "Gue tuh ngerasa kita semua kayak orang asing. Padahal kita besar bareng. Emang kita nggak punya hubungan darah, tapi apa yang udah kita alami bareng selama ini, pasti melebihi ikatan apa pun." Luna menggerung kesal, "Gue nggak percaya, kalau kita sekarang jadi kayak gini?"

"Lo ngomong apa sih, Lun?"

"Lo nggak ngerasa masing-masing dari kita nyimpan 'rahasia'?"

"Setiap orang pasti punya rahasia, Luna! Nggak mungkin ada orang yang lempeng banget hidupnya, apalagi di dunia kita. Everyone has a secret, even it's a little secret. Jangan menyimpan telur dalam satu keranjang."

"Itu dia masalahnya. Peribahasa itu berlaku untuk orang lain, bukan keluarga kita. Lo inget nggak apa yang terjadi sama Hartono si pengkhianat? Don selalu menekankan kita untuk menjaga kepercayaan."

Kurasa omongan Luna benar. Nggak seharusnya aku menaruh curiga sama keluarga sendiri. Seharusnya aku nggak menyamakan keluargaku dengan Mbak Tata. Bahkan dia bukan siapa-siapa. Kuhela napas panjang sebelum bicara. Kuceritakan semua hal yang perlu diketahui Luna. Tentang Mr B dan misi yang diberikannya. Termasuk data yang baru kudapatkan dari kantor Pak Yudhi. Pengkhianatan Mbak Tata pun ikut kukatakan.

Luna memelukku erat sambil membisikkan penyesalan. Dia minta maaf, kalau selama ini kurang peka terhadapku, hingga semua ini terjadi. Luna meyakinkanku bahwa data yang kuberikan pada Mr B tidak akan bisa disalahgunakan.

"Tenang, Chi! Si Mr B ini, nggak akan bisa ngapa-ngapain dengan aset Kusumo. Termasuk perusahaannya. Butuh banyak birokrasi untuk mengambil alih bisnis besar, apalagi oleh orang lain yang nggak ada ikatan apa-apa."

"Jadi, gue kasihin aja datanya?"

Luna mengangguk mantap. "Dan lo bisa dapetin satu pertanyaan. Gue yakin dia nggak bakalan bohong saat lo tanya." Aku mengernyit mendengar pernyataannya. "Di mana pun, mau di dunia gelap atau terang, orang jujur adalah sekutu yang paling dicari. Mr B kelihatan banget butuh bantuan lo. Jadi, nggak mungkin dia bohong."

Kuanggukkan kepala, membenarkan kata-katanya. "Gue harus tanya apa? Sedangkan dia pernah mengecualikan informasi yang mau gue tanya."

Luna bangkit. Dia berjalan mondar-mandir sambil memilin ujung rambutnya. "Gimana kalau lo nanyain, lokasi tepatnya kejadian kecelakaan itu. Dari situ, kita bisa dapetin banyak data. Termasuk siapa saksi matanya, bagaimana kronologinya, sampai penanganan setelahnya." Luna begitu antusias mengucapkan sarannya. "Gue bantu lo sampai tuntas.”

Sekarang gantian aku yang memeluknya dan mengucapkan terima kasih. Ada perasaan lega meski sedikit.

=================================

Lagi semangat nih. Udah mau klimaks.

Chiara's Little Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang